KONTESTASI Pemilihan Presiden 2019 sangat menyita perhatian dalam perjalanannya di sepanjang 2018.
Kendati dilaksanakan pada April 2019, rangkaian kehebohan untuk memperebutkan kursi orang nomor satu di Indonesia masih banyak menyisakan kontroversi yang menguras energi termasuk pada pemilihan anggota legislatif mendatang yang digelar bersamaan.
Pesta demokrasi 2019 merupakan pesta demokrasi terbesar sepanjang zaman (pemilih lima kotak). Di mana akan digelar serentak memilih presiden/DPD/DPRRI I/II se-Indonesia.
Selain terbesar, pesta demokrasi ini bisa dibilang tergila sepanjang republik ini berdiri karena di saat bersamaan rakyat diharuskan memilih pasangan presiden dan wakil rakyatnya. Tentu dengan penduduk 240 juta orang di mana sebagian besar adalah pemilih dengan tingkat berbagai lapisan sosial dan pendidikan dan juga tersebar di seluruh pelosok Nusantara. Maka pemilu ini bukan hal yang mudah untuk mendapatkan kualitas hasil.
Terlebih, masyarakat lapis bawah yang tersebar hingga pelosok negeri belum memahami secara utuh pemilu lima kotak ini. Apakah mereka mengerti apa dan siapa yang dipilihnya, bukan hanya presiden.
Saya coba iseng-iseng ke berbagai pelosok daerah, nyatanya mereka awam, mereka hanya tahu pemilu presiden, mereka tidak kenal wakil calegnya di posisi mana letak yang harus ditusuk. Hingga mayoritas dari mereka mengambil keputusan tusuk saja tanda gambar, selanjutnya terserah.
Bahkan saya coba juga kepada lapisan yang sedikit lebih intelektual namun hasilnya sama jawabnya membingungkan. Alih-alih irit biaya, pemerintah agendakan pemilu serentak tanpa perhatikan kualitas, yang penting irit.
Dari sisi kualitas, pemilu dan pilpres mendatang juga harus dipertanyakan. Misalnya bicara soal kualitas beberapa ketentuan dan gagasan yang justru membuat pemilu itu semakin tidak berkualitas seperti dalam kertas suara tanpa foto diri hanya nama membuat pemilih kurang kenal dan kurang informasi terhadap calon. Kemudian adanya mantan koruptor boleh ikut menjadi calon, ada juga mantan pembunuh. Selanjutanya yang cukup gila adalah wacana atau mungkin sudah disahkan bahwa orang yang terganggu jiwanya bisa memilih.
Ketidaktahuan dan ketidakmampuan memilih sendiri dapat menciptakan peluang peluang joki di lapangan untuk mengerahkan. Saya tidak tahu dengan semua permasalahan dan sistem itu apakah ada negara lain yang sama seperti itu atau mungkin hanya di republik ini saja yang demikian.
Oleh karenanya, dibutuhkan ketegasan, kenetralan atau netralitas dari penyelenggara dan juga perlindungan keamanan ketertiban dan kenyamanan dari TNI-Polri. Agar pemilu yang LUBER dapat terlaksana. Di sisi lain peran dari KPU/KPUD, Bawaslu sebagai penyelenggara juga harus massif, bukan saja mempersiapkan namun sosialisasi massif kepada masyarakat tentunya dengan berpedoman pada netralitas.
Sementara, peran TNI-Polri sebagai lembaga yang netral dan kompeten dalam pertahanan dan keamanan harus solid.
Akhir-akhir ini kita juga melihat adanya konflik di lapisan bawah perihal TNI-Polri yang terjadi dan memicu loyalitas kesatuan. Hal ini juga harus diluruskan dan didudukkan permasalahannya untuk mencari titik temu agar tidak ada hembusan provokasi yang dapat merugikan bangsa dan negara.
Pemikiran dan gagasan tentang peran TNI dan Polri tidak bisa dibahas sendiri-sendiri atau pemikiran masing-masingnya. Perlu didudukkan bersama dengan satu nafas yang sama demi NKRI. Taruhan dari pemilu ini tidak enteng, kekacauan bisa saja terjadi bukan hanya dari permasalahan dalam negeri tapi juga infiltrasi dari luar yang dapat mempekeruh suasana atau ada maksud tertentu dari kekuatan luar.
Menggunakan istilah yang suka disuarakan oleh Prabowo Subiatno Loot A Burning House atau rampoklah rumah orang selagi terbakar (ide Joseph Gobbels, menteri propaganda NAZI).
Ide tersebut bisa saja terjadi di bangsa ini, bukan hanya dari kita yang saling memanfaatkan tetapi yang lebih berbahaya adalah kekuatan luar/asing yang akan memanfatkan dari ide tersebut. Waspada, jangan mau dibodohi diadu domba dengan alasan apapun dengan cara apapun. Pemilu hanyalah sebuah proses demokrasi tentunya untuk mencapai kebaikan bukan kehancuran.
Apapun pilihan kita yang utama NKRI harga mati, kebhinnekaan dan Pancasila landasan utama dalam berbangsa dan bernegara dengan undang-undang sebagai aturannya.
Selamat tahun baru, selamat memilih dan tetap bersatu. [***]
Heru Budi Wasesa (ketua Ikatan Keluarga Alumni Universitas Pertahanan/Ika Unhan)
© Copyright 2024, All Rights Reserved