Pemberlakuan undang-undang sensor yang lebih ketat dan pemblokiran akses internet, menjadi cara junta militer Myanmar menekan jurnalis dengan mengendalikan arus informasi.
Pasca kudeta yang dilakukan junta militer Myanmar pada 1 Februari lalu, rumor dan berita palsu telah menyebar cepat, terutama di media sosial.
Namun pada saat yang sama, rasa ingin tahu publik akan informasi meningkat secara drastis. Dua hal tersebut membuat laporan berita dan analisis profesional jurnalis menjadi lebih penting.
"Banyak jurnalis marah, seperti yang terlihat di akun media sosial pribadi mereka. Di dalam negeri, berita dan liputan langsung diatur dengan sangat ketat," ujar Kyaw Myint, yang bertugas di Dewan Pers Myanmar, dikutip AFP, Kamis (11/3).
Pembungkaman dilakukan karena militer menilai media memicu aksi protes dan mempersulit pekerjaan mereka. Dampaknya, militer sering menargetkan dan menyerang jurnalis yang melaporkan aksi demonstrasi.
Untuk keamanan, kebanyakan editor dan reporter di negara tersebut saat ini menahan diri untuk tidak menyebut profesi mereka sebagai anggota pers. Terlebih, militer telah menjebloskan sejumlah jurnalis ke dalam jeruji besi.
Berdasarkan data yang dihimpun Asosiasi Bantuan Tahanan Politik (AAPP), hampir 1.800 orang telah ditangkap pada hari Senin (08/03), termasuk 34 wartawan.
© Copyright 2024, All Rights Reserved