Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat telah berganti istilah menjadi PPKM empat level. Namun, perbedaan yang ramai diperbincangkan yakni pembatasan waktu makan di tempat berdurasi 20 menit.
Merespon hal tersebut, Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Parahyangan (Unpar), Asep Warlan Yusuf mengatakan, kebijakan kali ini bukan memberikan kelonggaran dalam arti tidak menerapkan protokol kesehatan (Prokes).
Ia menilai, aturan tersebut sebagai upaya menggerakkan ekonomi khususnya dari sektor kafe dan restoran yang menyediakan kebutuhan pokok bisa melayani masyarakat.
"Tapi pelayanan saat ini belum bisa semaksimal dibandingkan dalam keadaan normal. Ada tiga ketentuan yang diberlakukan yakni waktu operasional, maksimal pengunjung, dan durasi dine in," kata Asep kepada Kantor Berita RMOLJabar, Sabtu (31/7).
Menurut dia, ketentuan tersebut sebenarnya bukan untuk masyarakat melainkan pengaturan bagi pengelola kafe dan restoran. Akan tetapi, bukan hanya sekadar untuk pelaku usaha tetapi juga memperhatikan kepentingan konsumen.
"Jadi ada dua kebutuhan, pertama bagi masyarakat yang membutuhkan pelayanan makanan, sekarang kemungkinan itu. Ke dua mereka bisa berusaha. Jadi tidak ada pelonggaran itu," tuturnya.
Kendati begitu, kebijakan yang saat ini berlaku tidak bisa diartikan sebagai relaksasi. Pasalnya, seringkali istilah relaksasi identik dengan ketidakketatan.
"Dalam konteks PPKM kali ini memiliki arti diberikan kesempatan bagi kafe dan restoran untuk melayani masyarakat," ujarnya.
Ia khawatir jika relaksasi diartikan menjadi sesuatu yang tidak ada kepentingannya dengan sektor usaha kafe dan restoran sehingga, masyarakat boleh berkumpul layaknya kondisi normal. Jika hal tersebut terjadi istilah bukan relaksasi tetapi melonggarkan ketentuan penerapan 5M.
"Jadi relaksasi bukan berarti mengurangi ketaatan kita pada penerapan Prokes atau 5M," tandasnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved