MASA Pemilu Presiden 2019 telah memberi waktu khusus kepada pasangan calon dan rakyat Indonesia untuk saling beradu. Adu gagasan, adu program sampai hal yang terendah adu cacimaki dan fitnah. Salah satu forum resmi yang membuka ruang beradu itu adalah Debat Capres.
Pada debat capres kedua, Budayawan Sudjiwotedjo dalam acara Indonesian Lawyers Club bertajuk 'Debat Capres Kedua, Benarkah Jokowi Diatas Angin' memberikan review yang terkesan mencela padahal menyadarkan, bahwa debat capres tersebut diibaratkan seperti debatnya para dirjen di level kementerian, yang selalu keluar dari mulutnya hanyalah data dan angka. Sangat practical approach.
Produk Presiden yang praktis biarlah nanti tersaji dalam bentuk program pemerintahan setelah terpilih bukan terus menerus berkutat pada saat debat berlangsung. Atau biarkan para timses saja yang menyampaikan program program praktis ke masyarakat, jangan capres.
Angan-angan Sudjiwotedjo sampai kepada pemahaman bahwa capres harus memiliki daya kognisi, edukasi dan program yang lebih filosofis. Alam pikiran capres wajib lebih dominan daripada hal lainnya pada debat tersebut, data, angka dan fakta mestinya masuk sebagai lampiran saja.
Maka diwaktu sisa kampanye ini, para capres harus memiliki skema retorika pemenangan 'Substansial Approach' atau dalam kerangka filsafat diurai menjadi 3 ciri, berpikir radikal (mengakar), berpikir sistematis (runut) dan berpikir secara konseptual (berdasar rancangan ide).
Mengapa review Sudjiwotedjo menjadi sangat menarik jadi rujukan? Dalam perspektif filsafat manusia, hal yang paling melekat dalam diri manusia dan menjadi pembeda dengan makhluk lainnya adalah akal, dinamai animal rationale (makhluk berakal).
Aristoteles dalam konsepsi sebab dan bekal manusia hidup, mengurainya dengan 3 argumen :
1. Anima vegetativa, manusia seperti tumbuh-tumbuhan, mempunyai kemampuan untuk makan, minum dan berkembang biak.
2. Anima sensitiva, manusia memiliki nafsu, dapat marah, mengamati dan merasakan.
3. Anima intelektiva, manusia memiliki akal, kemampuan untuk berpikir.
Jika dilihat dari 3 syarat dan bekal manusia hidup tersebut, anima intelektivalah yang menjadi kekuatan penting manusia untuk bergulat dengan dinamika dunia. Tak ada hewan menguasai manusia, tak ada tumbuhan mengatur manusia. Tapi sebaliknya manusia mampu mengurusi hewan dan tumbuhan dengan modal akal pikiran.
Maka penting dalam debat, para capres menguasai pikiran para pemilihnya dgn jurus Anima Intelektiva, yaitu akal pikiran capres menjamah akal pikiran publik. Pada debat pertama dan kedua hanya terlihat memberikan efek yang sangat emosional pada penonton, masyarakat hanya menyimpulkan dengan marah dan kesal.
Itulah tanda bahwa pada debat tersebut capres hanya menyajikan unsur Anima Sensitiva. Misal, Pak Jokowi yang terlihat lebih galak, Pak Pabowo lebih kalem. Itu adalah unsur Anima Sensitiva. Kenapa masyarakat melihat sisi itu? Karena sisi yang lainnya tidak benar benar terlihat yaitu Anima Intelelektiva. Kekuatan pikiran para capres.
Filsafat klasik menilai hakikat manusia hanya pasa jasadnya saja. Disebut dengan matrealisme. Tak ada jasad, maka hilanglah manusia itu. Digugurkan dengan paham idealisme, bahwa idea (pikiran) merupakan hakikat manusia, jasad tak saling bertemu tapi idea bisa saling berdialog.
Maka Soekarno, Hatta, Natsir, Hamka dan kawan lainnya mengapa masih tetap hidup sekarang meski jasadnya tiada? Karena pikirannya yang kuat dan mendalam mampu menembus batas batas materi (jasad dan waktu).
Pesona dalam persona capres harus mengalir lewat satu saluran saja yaitu akal pikirannya. Jangan tergoda dengan persona persona genit yang menempel dalam jasadnya.
Penulis: Muhammad Ersyad Muttaqien, S.Kom.I, M.I.Kom
© Copyright 2024, All Rights Reserved