Ekonom senior INDEF, Prof. Didik J. Rachbini, menilai hubungan ekonomi Indonesia dengan China banyak membawa kerugian. Ia justru melihat hubungan ekonomi dengan Jepang lebih menguntungkan meski karena dijalin dengan prinsip kehati-hatian.
"Hubungan ekonomi Indonesia dengan China sebetulnya tidaklah begitu dekat seperti halnya hubungan Indonesia dengan Jepang yang sudah berlangsung sekitar 60 tahun," ujar Didik dalam diskusi virtual Paramadina Public Policy Institute yang digelar pada Selasa (2/11).
Didik mencontohkan, investasi China dalam pertambangan nikel yang saat ini sangat dibutuhkan dunia justru merugikan Indonesia.
"Investasi China juga membawa serta barisan tenaga kerja tidak terampil ke Indonesia, yang sebenarnya dilarang oleh UU Penanaman Modal," ungkapnya seperti dikutip kantor Berita Politik RMOL.
Diakui Didik, hubungan ekonomi Indonesia dengan Jepang memang melalui proses lebih rumit dan lama, karena mereka memiliki ketelitian dalam negosiasi investasi dan kerja sama.
"Tetapi setelah berjalan menjadi mudah dan lancar. Dengan China, kerjasama ekonomi bisa terjadi dengan mudah tetapi ketika berjalan banyak masalah dan bahkan sulit untuk keluar," kata Rektor Universitas Paramadina ini.
Didik kemudian mengambil contoh lainnnya. Menurutnya hubungan ekonomi Indonesia dan China menimbulkan defisit yang sangat besar sehingga membuat perekonomian Indonesia makin berat.
"Seperti dapat dilihat sekarang ini, nilai tukar Indonesia menjadi melayang-layang dan defisit perdagangan besar dengan China terjadi," paparnya.
Bahkan Didik melihat hubungan perekonomian yang terjadi anatar Indonesia dan China bisa menimbulkan konsekuensi serius yakni menggerus politik bebas aktif Indonesia.
"Indonesia seolah telah menjadi subordinasi China. Kapal China yang masuk perairan Indonesia dihalau dengan sekenanya saja. Padahal dulu politik luar negeri Indonesia amat dihormati seperti era Menlu Ali Alatas yang berwibawa," demikian Didik.
© Copyright 2024, All Rights Reserved