Partai Politik (Parpol) menjadi salah satu pilar sistem demokrasi dunia pun di Indonesia yang diperkuat peran dan fungsi Parpol. Namun, perselisihan dan atau perpecahan (friksi) yang terjadi di Parpol menyisakan dampak positif dan negatif.
Wasekjen DPP Demokrat, Jansen Sitindaon mengungkapkan perpecahan Parpol sudah lama terjadi, bahkan sebelum Indonesia merdeka. Di antaranya, Partai Serikat Islam maupun Partai Komunis Indonesia, dan kemudian 1955 dengan lahirnya partai NU dari Parta Masyumi.
Namun hari ini, sambung Jansen, sudah terdapat Mahkamah Partai yang dinilai bisa menjadi solusi perselisihan Parpol.
Hal tersebut disampaikan Jansen dalam program Bioskop Politik (Biotik) bertajuk “Dinamika Friksi Parpol, Siapa yang Beruntung?” yang diselenggarakan Party Watch (Parwa) Institute melalui Zoom Meeting, Kamis (8/4).
“Konflik tidak bisa lepas dari Parpol, tetapi UU Parpol No.2 Thn 2011 Parpol harus membuat organ baru yang namanya Mahkamah Partai. Jenis-jenis konflik apa saja yang menjadi kompetensi absolut Mahkamah Partai untuk memeriksanya. Mahkamah Partai menjadi syarat mutlak yang memiliki wewenang khusus untuk memeriksa dan menyelesaikan perselisihan yang ada dalam Parpol,” tuturnya.
Dalam kesempatan yang sama, Anggota DPR-RI dari Fraksi PDI-P Rifqi Karsayuda menilai friksi menjadi ujian setiap Parpol untuk menuju pendewasaan kelembagaan partai. Konflik, lanjutnya, ada yang diciptakan dan ada yang bersifat alamiah, begitu pun yang terjadi di PDI.
“Kami tahu betul dalam partai kami, banyak faksi, namun kita berusaha agar di internal bising-bising diminimalisir. Pada dasarnya ada konflik alamiah dan ada konflik yang diciptakan. Konflik justru mendewasakan partai politik karena dengan konflik Parpol akan mendapatkan arus,” lugasnya.
Sementara Ketua DPP PPP, Rendhika Harsono mengungkapkan, salah satu yang terdampak friksi Parpol termasuk di PPP adalah para jagoan-jagoan yang ada di daerah. Apalagi secara psikologis terganggu dengan adanya ancaman-ancaman.
"Begitu pun dengan kader partai yang akan maju di Pilkada, kemanakah rekomendasi akan dikeluarkan. Banyak dampak-dampak negative yang ditimbulkan,” ungkap Rendhika.
Wasekjen DPP PKS, Ahmad Fathul Bari menilai friksi adalah hal yang lazim dalam kehidupan termasuk di Parpol dan perbedaan pendapat menjadi wajar dalam demokrasi. Friksi, ujarnya, menjadi hal menarik bagi masyarakat, bisa jadi dinikmati masyarakat misalnya di Demokrat.
“Kita bisa menilai hasil Pemilu atau survei terkini terkait dengan siapa yang beruntung (dari lahirnya Gelora dari PKS-red), dan yang menentukan juga latar partai. Di PKS tidak ada figur sentral, dan semua kader memiliki rasa kepemilikan atau saham ke partai. Generasi saya yang masih muda-muda melihat itu hal yang membawa pematangan Parpol,” tegasnya.
Sedangkan Wasekjen DPN Gelora Indonesia, Taslim Tamang mengungkapkan sentuhan friksi Parpol diperlukan dan bukan aib. Menurutnya, sangat wajar ketika terjadi gesekan-gesekan dalam Parpol dan terdapat dua poin yang penting yaitu skala dan latar dinamika.
“Saya akan masuk pada apa yang melatarbelakangi? bisa jadi friksi menjadi jalan keluar sebuah masalah yang menumpuk sejak lama seperti bara dalam sekam yang memuncak. Partai Gelora yang sebelumnya lahir dari PKS, kita belajar dari Soekarno, yang punya pikiran/ ide besar sehingga membuat Partai,” tandasnya.
Disamping itu, Direktur Eksekutif Parwa Institute, M. Jusrianto menegaskan, friksi di internal Parpol dan antar lintas partai jangan sampai merugikan masyarakat dan negara. Namun harus lebih mematangkan dan memajukan sistem demokrasi Indonesia.
Pasalnya, Jusrianto tak mengharapkan perselisihan yang dipertontonkan Parpol di Indonesia tidak mendewasakan bagi rakyat.
“Parpol semestinya lebih fokus pada perdebatan berkualitas yang memiliki nilai pendidikan kepada publik. Jangan sampai friksi yang terjadi di Parpol mencederai prinsip dan nilai demokrasi. Parpol dan para elitnya bisa membangun Parpol dan demokrasi menjadi lebih baik lagi dengan adanya dinamika yang terjadi,” pungkasnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved