DUA tahapan penting proses politik dalam kontestasi Pemilu 2024 yakni penetapan partai politik (Parpol) sebagai peserta Pemilu oleh KPU dan dilanjutkan penjaringan dan penetapan Capres-Cawapres oleh parpol atau koalisi parpol.
Parpol sebagai atribut wadah aspirasi politik bagi masyarakat menyalurkan hak-hak politik dari parpol juga Calon Presiden dan Wakil Presiden akan diajukan sebagai peserta calon presiden yang akan dipilih langsung oleh rakyat.
Pemilu 2024 akan dilakukan dua pemilihan yakni pemilihan legislatif (DPR) dan pemilihan eksekutif (Presiden). Rakyat memilih langsung calon anggota perwakilan rakyat (DPR) sementara presiden ditentukan oleh parpol atau koalisi parpol terlebih dahulu sebelum dipilih langsung oleh rakyat.
Dalam Pilpres 2024 hak pengajuan Capres-Cawapres berdasarkan hasil Pileg tahun 2019-2024. Artinya hasil Pileg 2024 tidak dipakai dalam proses seleksi Pilpres 2024 dan digunakan sebagai acuan.
Rangkaian ketetapan jadwal pemilu sudah ditetapkan oleh KPU, saat ini proses pemilu dalam level penetapan daftar peserta parpol dalam pemilu 2024 dan pengundian nomer urut parpol. Baru saja KPU mengumumkan para peserta Pemilu yang akan bertanding di Pemilu 2024 (14/12), setidaknya terdapat 17 peserta Parpol yang resmi telah terferifikasi secara admin dan faktual dan lolos.
Banyak komplain yang dirasakan oleh masyarakat, partai tengah dan partai gurem dan juga LSM. Mereka menggugat adanya ketentuan ambang batas parlementery threshold dan presidential threshold. Dua produk aturan tersebut dianggap telah memotong hak-hak sipil berpolitik baik hak individu dan kekuasaan partai untuk dipilih dan memilih sebagai Presiden dan DPR.
Ketentuan Presidential Threshold tertera Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 sangat memberatkan untuk partai dan juga para pemilih serta para pihak yang pantas untuk dicalonkan dan mencalonkan sebagai bakal calon presiden.
Pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu, yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR, atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya. Frasa tersebut menyiksa terutama partai menentukan calon presiden karena harus memenuhi kuota ambang batas presiden 20 persen.
Di lain pihak partai ditekan oleh aturan adanya ketentuan suatu partai harus mencapai ambang batas parlemen 4 persen untuk dapat diakui peserta resmi parpol yang telah lolos ke Senayan. Pengertian ambang batas parlemen atau biasa disebut dengan parlementery threshold adalah ambang batas perolehan suara minimal partai peserta pemilu untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi di DPR.
Dalam kontestasi Parpol di Indonesia, parliamentary threshold pertama kali diterapkan pada Pemilu legislatif. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) disebutkan bahwa ambang batas parlemen adalah sebesar 4 persen atau dengan kata lain partai politik yang memiliki suara 4 persen berhak untuk memperoleh kursi di parlemen.
UU Pemilu tersebut sebagai ancaman untuk partai lama yang tidak lolos di pemilu sebelumnya dan partai baru yang resmi lolos sebagai peserta pemilu 2024.
Dua produk UU tersebut dianggap sebagai masalah besar perumusan seleksi partisan politik di level eksekutif dan legislatif. Pada akhirnya hambatan tersebut menyebabkan terhimpitnya skala pencapaian wilayah politik sehingga menyebabkan benturan kepentingan baik Parpol dan para calon presiden.
Tidak terakomodasinya aspirasi dan kepentingan politik dalam porsi jabatan politik di pemerintahan atau di lembaga legislatif berakibat sering terjadi kompetisi tidak sehat di level kontestasi Pileg dan Pilpres berakibat terjadi permainan struktural di level pemerintah (KPU) atau legislatif (Kartel politik) untuk menggagalkan tujuan utama atau memenangkan pencapaian politik di di parlemen dan eksekutif.
Contoh sengketa di wilayah parlemen yang melibatkan atribut partai politik dan keterlibatan KPU sebagai wakil pemerintah. Adanya tuduhan dari peserta pemilu yang merasa digagalkan sebagai peserta pemilu dan menuduh adanya pihak istana atau kekuatan besar yang memerintahkan menggagalkan partai tertentu sebagai peserta pemilu 2024.
Sehari sebelum pengumuman hasil Peserta Pemilu dari KPU, ternyata hasil keputusan akhir peserta pemilu yang lolos bocor ke publik dan langsung digugat oleh Partai Ummat dan pada akhirnya Partai Ummat menggugat keputusan KPU tersebut ke Bawaslu.
Sehari paska pengumuman hasil resmiparpol peserta pemilu 2024, Partai Ummat langsung berusaha keras melakukan gugatan untuk meminta hak politiknya sebagai peserta Pemilu 2024.
Dalam proses di level eksekutif, terjadi distorsi seleksi calon presiden yang dilalukan oleh partai yang lolos Senayan. Sampai saat ini, belum adanya capres dan cawapres yang sudah resmi ditetapkan dan disyahkan oleh parpol atau koalisi parpol yang akan direkomendasikan sebagai capres resmi 2024.
Kegagalan partai untuk segera merekomendasikan capres-cawapres ini membuktikan bahwa di level elite partai telah atau sedang terjadi konflik atau persetujuan dan juga memungkinkan persengkokolan politik untuk mengajukan atau menggagalkan para capres tertentu yang tidak disukai atau dipesan untuk digagalkan. Mereka akan memilih pasangan.
Padahal stok bakal capres sangat banyak baik tokoh nasional ataupun dari internal elite parpol itu sendiri. Tokoh Nasional Anies Baswedan atau Ganjar Pranowo bisa saja hilang dari pencapresan 2024 karena kejahatan politik, terjadinya penjegalan aspirasi atau konspirasi politik besar untuk memutus karier politik tokoh yang tidak disukai oleh kartel politik.
Semoga dua tokoh nasional tersebut (Anies dan Ganjar) tidak hanya dipakai alas kaki semata atau sandal jepit demokrasi. Bantalan sesaat dipakai agar seolah-olah proses demokrasi terlahir dalam proses kerumunan aspirasi orang banyak dan sandal jepit diakui sebagai simbol aspirasi orang kecil.
Dengan segala kelemahan dan kekurangannya aturan dan UU Pemilu yang beralu saat ini, rakyat setidaknya berharap pemilu jurdil dan pihak partai dan penyelenggara berbuat terbaik untuk mengadakan dan menjalankan pemilu yang demokratis.
Tantangan politik tahun 2024 bagaimana melahirkan Presiden dan DPR yang terpilih sebagai representasi kepentingan semua stakeholder bangsa, partai, pemerintah dan juga kepentingan rakyat sebagai pemilih, bukan lagi capres sebagai boneka partai atau perpanjangan oligarki.
Dipertegas lagi jika sesungguhnya pemilih (rakyat) sebagai basis kedaulatan dalam dua substansi pengakuan kekuasaan secara integral yakni perwakilan rakyat di DPR dan memilih partai dan di waktu bersamaan rakyat memilih presiden secara langsung.
Pada titik akhir, harusnya hasil pemilu adalah finalisasi dari kedaulatan sesungguhnya yang dimiliki oleh rakyat melalui keterwakilannya baik di eksekutif dan di parlemen. Perlu diingat jika partai sekedar instrumen atau alat politik, anggota DPR atau Presiden adalah simbol puncak pencapaian politik dalam sistem ketatanegaraan dalam demokrasi, bukan pemegang kekuasaan dan kedaulatan sesungguhnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved