Polarisasi yang terjadi pada Pilpres 2019 ditengarai karena Presidential Threshold (PT) yang tinggi. Sebab, publik kemudian hanya dihadapkan pada dua pilihan calon presiden yang ada.
Hal tersebut disampaikan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie seperti yang ditulis dalam akun Twitter pribadinya, Jumat (15/1).
Jimlu menegaskan, dirinya tetap konsisten mendukung penghapusan PT. Bahkan ia telah berulang kali menekankan sikapnya tersebut dalam beberapa kesempatan.
“Intinya saya setuju Presidential Threshold dihapus jadi nol persen atau disamakan dengan Parliamentary Treshold atau turunkan secara signifikan,” ujarnya, diberitakan Kantor Berita Politik RMOL.
Jimly mengaku ingin Pemilu presiden tidak lagi hanya menghadirkan dua calon. Dia berharap ada peluang yang lebih bagi tokoh-tokoh kompeten untuk bisa ikut berpartisipasi di Pilpres.
“Agar pada ronde satu dapat dipastikan ada peluang Capres/Cawapres lebih dari dua,” tutupnya.
Sebelumnya, tokoh nasional DR. Rizal Ramli dan Abdulrachim Kresno telah mengajukan gugatan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Hanya saja, gugatan tersebut ditolak lima dari sembilan hakim dalam sidang pleno terbuka gugatan Pasal 222 UU 7/2017 tentang Pemilu.
Hakim menilai, ambang batas presiden dalam Pemilu 2019 tak memberi kerugian secara konstitusional kepada pemohon. Menurut hakim, pemilih di Pemilu 2019 telah mengetahui suara mereka akan digunakan untuk menentukan ambang batas pencalonan presiden.
Hakim juga menilai anggapan penggugat Abdulrachim yang menyebut PT membatasi hak konstitusional karena Pilpres 2014 dan 2019 hanya memunculkan nama Joko Widodo dan Prabowo Subianto tidak beralasan.
Sebab, aturan ambang batas pencalonan presiden dalam UU 8/2017 tidak membatasi seseorang untuk mencalonkan diri.
© Copyright 2024, All Rights Reserved