KASUS terbunuhnya brigadir Yoshua di rumah dinas Irjen Ferdy Sambo hampir berjalan lebih dari satu bulan. Pemberitaan hingga percakapan media sosial kita selama satu bulan lebih dipenuhi oleh polemik dan perdebatan tentang perkembangan kasus polisi tembak polisi tersebut.
Publik sedari awal sudah dibikin janggal. Sejak peristiwa tersebut diumumkan setelah tiga hari pasca kejadian, hingga kronologi serta penjelasan yang disampaikan polisi kurang bisa diterima akal sehat.
Artinya publik merasa di awal proses penanganan kasus tersebut ada upaya dari polisi untuk menutupi fakta yang sesungguhnya, dan memaksakan skenario rekayasa tertentu sebagai metanarasi yang kemudian mencoba digunakan untuk menyusun body of crime dari kasus terbunuhnya brigadir inisial J itu .
Namun dalam perkembangannya. skenario awal yang dibangun tidak mampu menjawab berbagai macam pertanyaan dan kekritisan publik. Artinya skenario yang dibangun lambat laun semakin lapuk dan keropos, semacam terdeligitimasi oleh kekritisan publik.
Hal ini membuat kredibilitas institusi Polri dipertaruhkan. Besar kemungkinan jika kasus tersebut tidak diselesaikan secara transparan dan profesional maka akan terjadi erosi kepercayaan masyarakat terhadap Polri secara menyeluruh.
Layaknya sebuah pepatah kuno “karena nila setitik, rusak susu sebelangga”. Akan tetapi yang menjadi pertanyaan kita semua, apa yang membuat penanganan kasus tersebut berlarut-larut? Hal ini penting untuk dianalisa sebagai upaya diagnosa sehingga masalah yang sama di masa mendatang bisa diantisipasi atau dicegah agar tidak lagi berulang.
Bahaya Groupthink
Dalam pendekatan organizational communication dikenal dengan istilah Groupthink atau yang biasa disebut sebagai “jebakan pemikiran kelompok”, yaitu sebuah fenomena psikologis yang terjadi dalam relasi sebuah kelompok sosial.
Teori ini diperkenalkan oleh psikolog sosial Irving L. Janis (1972) untuk menganalisa beberapa kasus besar seperti skandal Watergate era Nixon hingga invasi teluk babi yang diputuskan Kennedy.
Groupthink bekerja dimana kelompok menciptakan tekanan psikologis pada individu untuk menyesuaikan diri dengan pandangan para pemimpin dan anggota lainnya. Tekanan psikologis ini membuat sekelompok orang tersebut yang sejatinya memiliki kapabilitas namun justru membuat keputusan yang irrasional, memalukan bahkan tragis.
Artinya groupthink mengarahkan sekelompok orang untuk membuat keputusan yang keliru, gagal mengambil pilihan yang tepat walaupun mereka memiliki semua informasi yang mereka butuhkan, memiliki infrastruktur serta kewenangan yang cukup untuk menciptakan keputusan yang tepat.
Dalam kasus brigadir J, berdasarkan pernyataan Inspektur Pengawasan Umum (Irwasum) Polri Komjen Agung Budi Maryoto sebanyak 31 personel Polri diduga melakukan pelanggaran kode etik profesi.
Dari data tersebut, paling banyak yaitu personel yang berasal dari satuan Divisi Propam Polri yakni sebanyak 21 personel yang terdiri dari 3 Pati, 8 Pamen, 4 Pama, 4 Bintara, 2 Tamtama. Mereka adalah bawahan langsung dari Ferdy Sambo eks Kadiv Propam Polri.
Mereka diduga terlibat menghalangi proses penyidikan yang dilakukan oleh timsus hingga menghilangkan barang bukti. Fenomena ini menggambarkan kesalahan sistematis yang dilakukan oleh sekelompok orang ketika membuat keputusan kolektif pada kondisi kelompok yang kohesif (terdapat penyatuan kekuatan).
Dalam hal ini walaupun pimpinan menjadi penentu keputusan, namun umumnya pimpinan didukung oleh anggota kelompok kohesif yang signifikan dan begitu dipercaya oleh pimpinan kelompok.
Dalam kasus ini, ada semacam konvergensi pikiran dan nilai-nilai, bahwa mereka bukanlah berperan sebagai individu melainkan repsentasi dari sebuah kelompok/squad. Walaupun sebenarnya kasus ini sangat bersifat privat.
Walau tidak menutup kemungkinan keputusan yang diambil secara groupthink itu sebenarnya berlawanan dengan hati nurani anggotanya, namun mengingat itu kepentingan kelompok maka mau tidak mau semua anggota kelompok harus kompak mengikuti arah yang sama agar tercapai suatu skenario pimpinannya.
Namun kelompok dengan kohesivitas tinggi memberikan tekanan yang besar pada anggota kelompoknya untuk menaati standar kelompok. Hal ini terjadi pada Bharada E setelah timsus berupaya meminta Bharada E jujur. Akhirnya ia mengaku bahwa sesungguhnya ia tidak punya motif atau keinginan dalam diri untuk menembak brigadir J, namun ia mengaku karena diperintah oleh atasan.
Menariknya, upaya menghalangi penyidikan juga melibatkan personel dari lintas satuan. Ada 7 personel yang berasal dari Polda Metro Jaya yaitu 4 Pamen dan 3 Pama. Tentu hal ini bukan hanya sekedar pengaruh langsung psiko-hirarki secara formal Ferdy Sambo sebagai Kadiv Propam.
Fenomena berpelukan antara Irjen Ferdy Sambo dengan Irjen Fadil Imran selaku Kapolda Metro Jaya patut menjadi perhatian.
Tentu kita tidak dapat berspekulasi tentang adanya perintah langsung Kapolda terhadap anak buahnya untuk ikut serta mengamankan skenario Ferdy Sambo. Itu menjadi tugas timsus untuk mendalami.
Namun yang sudah jelas, Kapolda Metro Jaya menyampaikan bahwa kunjungannya ke kantor Ferdy Sambo adalah bentuk dukungan terhadap orang yang dianggapnya sebagai “adik” yang sedang menghadapi cobaan yang berat.
Hal ini menandakan adanya hubungan subjektif-emosinal diantara keduanya, lebih dari hubungan struktural atau rekan sejawat. Kita pun tak tahu apakah Kapolda Metro Jaya mengetahui peristiwa sebenarnya atau hanya mengetahui versi skenario yang dibuat Ferdy Sambo.
Di luar tahu atau tidaknya personel polisi tentang adanya rekayasa skenario yang dibuat Ferdy Sambo, yang penting menjadi catatan bahwa berita bohong tentang skenario rekayasa tembak-menembak diawal pengungkapan, semakin menguatkan secara sadar atau tidak digerakan oleh berkembangnya groupthink di lingkungan Polri.
Dampak dari kuatnya groupthink tersebut, terbangun rasionalitas kolektif dengan cara membenarkan hal-hal yang salah sebagai seakan-akan masuk akal. Selain itu, kemorosotan etis hingga ketidakmampuan akal sehat berfikir di luar groupthink akibat adanya self-mindguard dengan mencegah atau menyaring informasi-informasi yang tidak mendukung.
Hal ini dilakukan oleh para penjaga pikiran kelompok, yaitu mereka yang juga mengetahui rencana pembunuhan ini serta dengan sadar dan sengaja menutupi kasus ini dengan segala cara yang dilakukan.
Langkah Kapolri
Upaya self-mindguard akhirnya berujung sia-sia ketika kebijakan pertama Kapolri Listyo Sigit Prabowo merespons kasus pembunuhan brigadir J yakni dengan membuka penanganan kasus ini dengan transparan dan melibatkan pihak eksternal.
Ini adalah langkah penting dan menentukan. Apabila hal ini tidak dilakukan, besar kemungkinan penanganan kasus ini benar-benar diarahkan oleh groupthink yang sedang bekerja.
Dalam pandangan Irving, peran pemimpin untuk menghindari jebakan groupthink yaitu sebaiknya ia berperan layaknya seperti detektif, yakni mengajukan pertanyaan dan mengumpulkan semua fakta. Sehingga kotak pandora bisa terbuka dengan terang benderang. Dan ini telah dilakukan oleh Kapolri Listyo Sigit Prabowo.
Langkah Kapolri yang terbuka dan transparan penting sebagai preseden baik bagi sehatnya institusi Polri yang nyaris digerogoti oleh groupthink yang bisa membuat Polri mengalami erosi kepercayaan masyarakat.
Harapannya sikap terbuka dan transparan dapat menjadi nilai-nilai yang terlembagakan didalam tubuh institusi Polri di semua tingkatan. Sehingga upaya menghindarkan diri dari jebakan groupthink dapat dilakukan secara permanen.
Arjuna Putra Aldino
Penulis adalah Ketua Umum DPP GMNI 2019-2022
© Copyright 2024, All Rights Reserved