PELABELAN politik identitas pada satu kekuatan tertentu masih menjadi jurus sakti untuk melemahkan lawan. Alih- alih ingin menjadikan demokrasi yang rasional kini malah terbalut oleh intrik yang berorentasi pada kekuasaan semata. Sehingga apa yang dikatakan oleh Niccolo Machiavelli bahwa politik menghalalkan segala cara tetap hidup secara aktif dan dominan dalam dunia politik hari ini.
Demokrasi yang disandarkan pada keadilan seakan menjadi kemustahilan, karena perilaku para politikus semakin hari tidak menunjukan demokrasi pada subtansinya.
Adrenaline publik seakan terpicu untuk ikut dalam kubangan politik yang salah, sentimen publik digugah untuk ikut ber-statement bahwa di luar dirinya atau kelompok lain memiliki deretan kesalahan dan melabeli dirinya seakan-akan yang paling benar. Realitas ini bukan hadir dengan sendirinya tapi ada aktor di belakangnya (by design).
Spektrum politik yang terbangun seakan tidak bagian dari demokrasi yang semestinya. Demokrasi yang harusnya saling menghargai perbedaan kini berubah menjadi saling menegasikan diantara mereka.
Bahkan makna toleransi pun terdistorsi menjadi instrumen untuk menjatuhkan di antara anak bangsa sendiri. Semua seakan menjadi absurd, hanya demi mendominasi kekuasaan yang ada. Penghinaan, hujatan, cibiran dan fitnah terus bermunculan di kehidupan berbangsa ini dan seolah menjadi hal yang lumrah dalam berdemokrasi.
Melihat realitas ini tidak ada salahnya bila kita meneguk kembali tentang ide almarhum Kang Jalaludin Rahmat yang diguratkan di buku yang berjudul "Rekayasa Sosial".
Menurut sang penulis, mustahil ada perubahan ke arah yang baik bila masyarakat masih terjebak dalam kesalahan-kesalahan berpikir.
Hal tersebut muncul karena unsur-unsur manipulasi data, fakta dan informasi. seperti halnya hari ini berbagai manipulasi dan narasi- narasi provokasi agitasi, fitnah sengaja diproduksi secara terus-menerus sehingga masyarakat percaya dan mengikis daya nalarnya.
Secara sederhana kita katakan hoaks dan para hoaxers tidak ada hentinya menebar hoaks secara massif. Ini adalah dosa sosial yang harus disudahi.
Keadaan berbangsa jika dibangun dengan cara provokasi dan hoaks maka akan berakibat pada perpecahan atau disparitas sosial.
Perpecahan-perpecahan ini pada akhirnya menciptakan kedaruratan, dan kedaruratan akan menjadi salah satu instrumen untuk menjustifikasi sikap kekuasaan untuk bertindak dalam menentukan kebijakan baru.
Atas nama kedaruratan sang penguasa akan bersikap menangguhkan aturan dan cenderung otoriter dalam menentukan aturan yang baru, karena dalil yang dibangun adalah pengecualian demi kata normalitas.
Dalam keadaan kedaruratan Giorgio Agamben berargumen bahwa kedaulatan (negara) bersifat paradoksal. Kedaulatan yang pada awalnya telah mengatur hak dan kewajiban sesuai konstitusi, namun kemudian pada kondisi-kondisi tertentu (pengecualian), kedaulatan memiliki kuasa dan menggunakannya untuk menangguhkan aturan tersebut.
Pada penangguhan hukum tersebut, kedaulatan selanjutnya membentuk hukum baru guna menggantikan hukum sebelumnya. Kuasa inilah yang disebut state of exception oleh Giorgio Agamben.
Sekali lagi Giorgio Agamben memperingatkan kepada kita semua bahwa sentimen publik yang terbentuk dari saling menegasikan diantara anak bangsa akan menjadi perpecahan yang berakibat pada keadaan kedaruratan atau pengecualian atau keadaan up normal keadaan inilah yang akan dimanfaatkan oleh penguasa untuk bertindak tanpa harus berpedoman pada aturan (pengecualian) hal tersebut merupakan bentuk dari terciptanya state of exception.
Banyak pengamat mengatakan bahwa terbelahnya anak bangsa karena imbas atau efek dari politik yang diidentitaskan bukan politik identitas yang mengakibatkan saling bermusuhan di antara anak bangsa, yang pada akhirnya demokrasi hanya sebagai alibi untuk saling bertikai di antaranya. Sehingga yang kuatlah yang menang yang berkuasa lah yang mendominasi, kebenaran hanya dimiliki oleh penguasa dan yang kuat.
Sebagai masyarakat yang hidup di era 5.0 society kita bergerak dan berpikir dengan basis rasional dan demokrasi harus dikembalikan pada makna aslinya, kebenaran, konstitusi yang logik dan objektif harus menjadi barometer dalam mengelola bangsa dan negara ini. Pendominasian dan arogansi serta otorita harus kita lawan apapun alasan atau narasi yang dibangun sebagai alibi.
Penulis adalah Kepala Biro Pembangunan Desa dan Daerah Tertinggal DPP Partai Demokrat
© Copyright 2024, All Rights Reserved