PUTUSAN Mahkamah Konstitusi mengenai ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden sepertinya menemui jalan buntu. Lebih kurang 20 permohonan gugatan yang telah dilayangkan ke MK, namun keseluruhannya ditolak dan tidak dapat diterima.
Dalil Mahkamah secara keseluruhan menyebutkan bahwa permohonan perorangan warga negara tidak memiliki legal standing (kedudukan hukum).
Sementara untuk partai politik memiliki legal standing, namun pokok perkaranya tidak dikabulkan dengan alasan bahwa ketentuan Pasal 222 Undang-undang 7/2017 tentang Pemilihan Umum itu adalah kebijakan hukum terbuka atau biasa disebut open legal policy.
Untuk mendalami masalah ini, perlu kiranya kita membahas ini dari sudut pandang hukum. Karena itu saya mencoba melihatnya dari perspektif kedudukan hukum dan perspektif konstitusi mengenai pengujian ambang batas pencalonan presiden ini.
Mengenai Kedudukan Hukum Perorangan
Mahkamah agak skeptis terhadap legal standing perorangan warga negara. Karena telah banyak permohonan yang diajukan ke MK atas nama perorangan warga negara, namun ditolak.
Meski demikian MK tetap membuka peluang dikabulkannya permohonan perorangan apabila mampu membuktikan kerugian konstitusional akibat berlakunya ketentuan ambang batas pencalonan presiden dalam pasal 222 UU 7/2017 itu.
Upaya untuk merumuskan legal standing perorangan telah dilakukan melalui berbagai permohonan yang telah diajukan. Seperti Permohonan Busyro Muqoddas, Rocky Gerung dan ormas, permohonan Rizal Ramli, permohonan Gatot Nurmantyo, pemohonan pensiunan seperti Al-Mizan Ulva dkk, permohonan Lieus Sungkisma, permohonan Tamsil Linrung, Fahira Idris dkk, pemohonan diaspora Indonesia di luar negeri yaitu Crist Comari dkk, dan permohonan lainnya "tidak dapat diterima" oleh Mahkamah.
Dalilnya bahwa pemohon tidak perorangan tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan gugatan presidential threshold.
Saya sebagai kuasa hukum dari anggota 7 orang DPD RI mengajukan permohonan pengujian Pasal 222 itu, berusaha memaksimalkan upaya intelektual saya dengan mengunskan pendekatan teori dan memperhatikan putusan-putusan MK yang berkaitan dengan pertimbangan hukumnya, untuk merumuskan legal standing yang dimaksud oleh Mahkamah, dan korelasinya dengan pokok permohonan supaya antara kerugian dan dalil permohonan memiliki keterkaitan.
Namun pada akhirnya MK dengan dua putusan yang dibacakan khusus permohonan yang kami ajukan, dalilnya tetap berpendirian bahwa perorangan tidak memiliki legal standing.
Sulit bagi saya membayangkan, bahwa para pemohon didalilkan tidak memiliki legal standing, karena alasan bahwa hanya partai politik yang memiliki legal standing. Artinya para pemohon "warga negara" tidak memiliki kerugian konstitusional apapun dalam hal pemilihan presiden dan wakil presiden.
Berarti MK secara tidak langsung, menolak untuk mengakui bahwa warga negara bukanlah bagian penentu seseorang menjadi presiden atau tidak.
Dengan kata lain rakyat tidak berhak menentukan calon presiden. Pertanyaannya, siapa yang berhak untuk memutuskan siapa pasangan calon presiden dan wakil presiden?
Dengan putusan Mahkamah menolak gugatan Jenderal Gatot Nurmantyo, Rizal Ramli, Tamsil Linrung, dkk, juga gugatan secara kelembagaan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) yang diwakili oleh Ketua dan Wakil Ketua DPD RI, maka secara umum perorangan tidak bahkan lembaga negara tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan gugatan ambang batas pencalonan presiden.
Di sinilah putusan MK itu menimbulkan berbagai persepsi dan kontroversi, bahwa penentuan calon presiden mutlak milik partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki suara 25% tingkat nasional dan atau 20% kursi di DPR RI.
Sementara partai-partai nonparlemen yang tidak lolos parlementary theshold dan partai politik baru yang dinyatakan sebagai partai peserta pemilu oleh KPU tidak memiliki kewenangan untuk mengusulkan calon presiden dan wakil presiden.
Dengan demikian, hanya partai besar atau partai di parlemenlah yang berhak menentukan calon presiden.
Dengan menolak permohonan perorangan Mahkamah bukan hanya menjadi penjaga kepentingan oligarki, tetapi juga merampas hak konstitusional warga negara.
Misalnya dalam Pasal 27 ayat 1 UUD 1945 menyebutkan "Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya."
Setiap orang berhak untuk mendapatkan kedudukan yang sama dalam hukum dan pemerintahan. Artinya setiap orang memiliki hak untuk menentukan siapa pemimpin bagi mereka.
Karena itu semua warga negara yang sudah dinyatakan oleh Undang-undang sebagai pemilih, memiliki legal standing untuk menguji pasal 222 ini.
Ditegaskan pula dalam pasal 28D ayat 1 dan 3, sebagai jaminan perlindungan bagi kepastian hukum yang adil bagi semua warga negara. Dalam ayat 3 memberikan kesempatan kepada semua warga negara untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
Sayangnya kesempatan yang sama itu tidak diakui oleh Mahkamah Konstitusi dengan menyatakan bahwa pemohon perorangan tidak memiliki kedudukan hukum.
Mahkamah juga menilai tidak ada kerugian apapun bagi warga negara dalam pemilihan presiden sebab sudah menggunakan hak pilihnya. Sederhana saja bagi MK menyatakan tidak ada kerugian konstitusional.
Cara Oligarki Menguasai Istana
Beberapa partai politik juga telah mengajukan permohonan pengujian pasal 222 UU 7/2017. Mahkamah menerima legal standing partai politik. Di antaranya Partai Bulan Bintang diterima legal standing-nya. Tetapi dalam pokok permohonan, Mahkamah menolak permohonan pemohon karena dianggap itu kebijakan hukum terbuka (open legal policy).
Jadi penentuan ambang batas itu adalah kewenangan Pembuat Undang undang, dalam hal ini Presiden dan DPR.
Di sinilah ketidakkonsistenan MK dalam membuat putusan mengenai open legal policy atau tidak. Coba kita pelajari putusan pemilu serentak yang dibacakan 2014, kemudian dilaksanakan tahun 2019.
MK menyatakan pemilu terpisah antara DPR dan Presiden itu adalah inkonstitusional. Padahal kalau menggunakan alasan yang sama, itu adalah open legal policy, sebab ada dalam Pasal 22E ayat 6 yang menyatakan bahwa "ketentuan lebih lanjut diatur mengenai pemilu dengan undang-undang".
Di satu sisi MK menyatakan pemilu terpisah antara legislatif dan pemilihan presiden dan wakil presiden inkonstitusional, namun tidak mau memutuskan mengenai ambang batas presidential threshold.
Pertanyaannya dari mana ketentuan 20 persen atau 25 persen angka threshold itu? Angka ini tidak terdapat dalam konstitusi, angka ini adalah pasal yang disusupkan untuk mengatur pencalonan presiden dan wakil presiden oleh kelompok oligarki politik melalui partai-partai besar.
Perintah konstitusi tidak mendelegasikan "syarat menjadi presiden dan wakil presiden", melainkan mendelegasikan "tata cara pemilihan presiden dan wakil presiden" untuk diatur lebih dalam undang-undang.
Artinya, “syarat menjadi calon presiden dan wakil presiden" adalah close legal policy, dan bukan open legal policy.
Jadi Mahkamah sebenarnya patut diduga sedang mempermainkan konstitusi untuk kepentingan oligarki dengan memanipulasi hak-hak konstitusional warga negara dalam menentukan pemimpin mereka.
Mahkamah sebagai penjaga oligarki itu jelas dan nyata. Misalnya dalam pertimbangan hukum, Putusan MK Nomor 52/PUU-XX/2022. Yang di mohonkan oleh DPD RI, MK jelas mengakui ada peran oligarki dalam penentuan capres.
Tetapi MK enggan memutuskan untuk menghapus presidential threshold karena tidak ada jaminan sosiologis bahwa oligarki tidak berperan dalam pilpres.
Dapat dibayangkan, Mahkamah mengamini peran oligarki dalam penentuan capres dan cawapres, tetapi mau membatasi peran mereka dalam penentuan presiden dan wakil presiden. Ini sebuah tragedi menurut saya, ditinjau dari perspektif konstitusi dan kedaulatan rakyat.
Pasal 222 Bertentangan dengan UUD 1945
Secara jelas dan terang bahwa pasal 222 UU 7/2017 bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dianut oleh Indonesia. Ketentuan Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 jelas menyebutkan "kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD".
Artinya kedaulatan rakyat itu dilaksanakan menurut ketentuan UUD bukan ketentuan lain yang justru merampas kedaulatan rakyat itu.
Salah satu instrumen kedaulatan rakyat adalah menentukan siapa calon pemimpin mereka melalui Pemilihan umum yang dilaksanakan secara periodik.
Di situlah rakyat diberi kesempatan secara langsung, umum, bebas dan rahasia, untuk memilih pemimpin mereka.
Tetapi dengan adanya ketentuan presidential threshold, rakyat dibatasi untuk menentukan pemimpin mereka. Pembatasan itu telah memperkecil adanya pemimpin alternatif. Dan sayangnya MK mengakui bahwa pembatasan kedaulatan rakyat melalui pemilu itu konstitusional.
Sementara Pasal 22E ayat 1 UUD 1945 yang menyatakan bahwa pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia jujur dan adil.
Menggunakan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden merupakan bagian dari ketidakadilan pemilu, dan ketidakjujuran dalam menentukan pemimpin bangsa.
Pasangan calon presiden dan wakil presiden ditentukan oleh partai-partai besar dan para pemodal. Di kamar kecil inilah pilihan rakyat ditentukan.
Secara kasar saya menyebutkan, pintu persekongkolan oligarki dimulai dari tahap penentuan ini, sehingga melahirkan presiden boneka.
Sementara secara jelas dan gamblang, Pasal 6A ayat 2 UUD 1945 menentukan bahwa pasangan calon presiden dan atau wakil presiden diusulkan oleh partai politik dan atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum.
Saya memiliki pendapat bahwa partai politik peserta pemilu itu tidak berdasarkan angka threshold, tetapi berdasarkan legalitas partai sebagai peserta pemilu.
Partai politik yang sudah berbadan hukum dari Kementrian Hukum dan HAM dan dinyatakan sebagai peserta pemilu oleh KPU setelah melakukan verifikasi faktual dan administrasi, berhak mengajukan calon presiden dan wakil presiden.
Apakah itu partai lama atau partai baru, partai besar atau partai kecil, selama ia dinyatakan sebagai peserta pemilu maka ia berhak menentukan calon presiden dan wakil presiden.
Upaya untuk menafsirkan pasal 6A ayat 2 dengan angka 20 persen sangat tidak demokratis. Penggunaan suara pada pemilihan sebelumnya sebagai tiket untuk mengusulkan calon presiden di luar dari akal sehat.
Bagaimana mungkin tiket yang sudah digunakan dijadikan sebagai penentuan calon presiden, sementara tiket itu sudah kedaluwarsa?
Secara teoritis PT itu adalah syarat keterpilihan dari calon presiden terpilih bukan untuk syarat sebagai pencalonan presiden, Untuk hal ini sudah diatur secara jelas di UUD kita yaitu pasal 6A ayat(3), (4). Di Amerika juga mengenal daerah-daerah pemilihan yang disebut electoral college.
Karena itu saya berpendapat bahwa angka presidential threshold itu baru dapat digunakan pada putaran kedua pilpres. Karena memang konstitusi mendesain, bahwa pemilihan presiden itu dilaksanakan dalam dua putaran.
Pada putaran pertama para kandidat yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu dapat mencalonkan kader-kader terbaiknya, entah itu partau baru, partai nonparlemen atau partai yang memiliki kursi di parlemen, yang penting partai itu dinyatakan oleh KPU sebagai peserta pemilu.
Sementara dalam putaran kedua, akan terseleksi dengan sendirinya calon presiden dengan menggunakan perolehan suara dalam putaran pertama.
Di sinilah esensi rakyat yang berdaulat. Dengan menggunakan PT 20 persen, daulat rakyat tidak diberi pilihan, malah disodorkan calon yang sudah ditentukan “di kamar gelap”.
Mahkamah juga selalu mengatakan bahwa presidential threshold adalah untuk memperkuat sistem presidensial. Mengenai hal ini, mudah saja dibantah, bahwa tidak ada korelasi antara penguatan sistem presidential dengan angka threshold.
Bahwa setelah Reformasi kita ingin merontokkan kekuasaan presiden, dari executive heavy ke legislative heavy. Karena sejarah kediktatoran di masa lalu karena kekuasaan eksekutif terlalu kuat.
Begitu juga dengan sistem koalisi. Dalam sistem presidential tidak ada koalisi. Koalisi bukanlah alat untuk memperkuat sistem presidential. Karena koalisi pragmatis yang dibangun justru menyandera presiden.
Supaya presiden tidak tersandera, maka dibutuhkan orang yang memiliki kecakapan dalam melakukan konsolidasi politik di parlemen. Kaki tangan eksekutif di parlemen memang penting, tetapi bukan berarti melalui jalan koalisi presidential threshold dengan angka 20 persen itu.
Apabila MK berpendapat bahwa presidensial threshold memiliki korelasi dengan sistem presidensial, sungguh sebuah ironi. Karena setelah amandemen konstitusi, presiden itu memiliki kekuasaan yang sangat kuat dari ancaman impeachment.
Coba kita baca ketentuan pemakzulan presiden misalnya, melewati proses panjang dan tidak mudah. Beda dengan sistem parlementer, di mana perdana menteri dapat dijatuhkan hanya karena mosi tidak percaya parlemen.
Dalam konstitusi kita, presiden baru dapat dijatuhkan apabila melakukan tindakan pidana berat dan dilakukan melalui tiga tahap, yaitu pendapat DPR, sidang MK, dan sidang istimewa MPR. Tiga tahap ini bukanlah hal yang mudah.
Jadi mengatakan presidensialisme kuat karena koalisi, sungguh alasan yang tidak masuk akal. Apalagi dengan alasan itu kedaulatan rakyat dirampas untuk menentukan pemimpin mereka.
Mengenai Open Legal Policy
Berkaitan dengan open legal policy, Mahkamah tidak memiliki pendirian yang jelas. Beberapa putusan Mahkamah berkaitan dengan pemilu, selain persoalan ambang batas, Mahkamah langsung menafsirkan sendiri pasal yang diuji.
Kalau sekiranya benar bahwa ambang batas pencalonan presiden itu adalah open legal policy maka MK tidak memiliki pendirian konstitusional. Dalam putusan MK No. 22-24/PUU-VI/2008 mengenai pengujian Pasal 55 ayat (2) dan Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e UU 10/2008 tentang Pemilihan Umum.
MK jelas membatalkan ketentuan pasal 214 UU Nomor 10 Tahun 2008 karena dianggap bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945.
Ketentuan pasal a quo oleh UUD 1945 diserahkan kepada pembuat UU untuk merumuskan normanya. Sebagaimana ketentuan Pasal 22E ayat (6) yang menyatakan: “Ketentuan Lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan Undang-undang”.
Tapi mahkamah pada waktu itu tidak menyebutkan itu diserahkan ke DPR dan Pemerintah sebagai pembuat UU, tetapi langsung ditafsirkan oleh MK dan diputuskan.
Mahkamah telah membuat yurisprudensi hukum bahwa katentuan pasal-pasal yang bertentangan dengan UUD 1945, meskipun didelegasikan ke dalam pembuat UU yaitu presiden dan DPR, Mahkamah sebagai lembaga peradilan yang diberi kewenangan oleh UUD 1945 untuk menguji UU terhadap UUD dapat membatalkan norma UU yang bertentangan dengan UUD 1945 tanpa harus dikembalikan kepada pembuat undang-undang.
Itulah hakikat Mahkamah Konstitusi sebagai the guardian of the constitution. MK dibentuk sebagai benteng terakhir konstitusi untuk menguji setiap pasal yang bertentangan dengan UUD.
Kalau sekiranya dalam hati kecil semua hakim-hakim MK menyatakan bahwa Pasal 222 UU 7/2017 itu inkostitusional, atau seperti yang dalam disetting opinion Hakim Saldi Isra dan Suhatoyo, apakah MK membiarkan pelanggaran konstitusional itu dengan dalil open legal policy?
Maka di sinilah pertanggungjawaban bagi kemuliaan hakim dan kehormatan Mahkamah. Kalau kemuliaan itu formalitas maka wajar bahwa open legal policy adalah dalil untuk menghindari sandera oligarki atas konstitusi. Dan kalau itu dibiarkan terus menerus, maka MK tidak layak diberi kemuliaan.
Tidak Ada Kejujuran dan Keadilan
Kita ingin pemilu itu dilaksanakan secara jujur dan adil sebagaimana yang ditentukan oleh Pasal 22E ayat 1. Namun bagaimana mungkin ada pemilu yang jujur (fair election) dan pemilu yang adil (justice election) dengan menggunakan titik star yang tidak sama.
Seharusnya dalam demokrasi semua orang memiliki starting yang sama sebagai warga negara, itulah esensi demokrasi yang berkedaulatan rakyat.
Mahkota Pemilu itu adalah kejujuran dan keadilan. Tanpa itu, pemilu hanya akan melahirkan kecurangan dan itulah yang kita tentang bersama.
Menggunakan starting PT 20 persen itu sudah tidak fair dan tidak adil. Karena itu pula jangan berharap pemimpin terpilih bisa jujur dan adil.
Tetapi justru dengan keputusan MK menyatakan pasal 222 itu konstitusional, MK secara tidak langsung membiarkan ketidakadilan dan ketidakjujuran dalam pemilu terjadi.
Kenyataan ini menggambarkan betapa MK memberikan ruang bagi kecurangan pemilu. Sebab dari awal permainan sudah diatur sedemikian rupa, sehingga setiap orang tidak memiliki kesempatan yang sama, baik untuk memilih maupun untuk dipilih sebagai calon presiden dan wakil presiden.
Maka tidak heran, bahwa protes terhadap putusan mahkamah itu adalah bagian dari ketidkapercayaan masyarakat terhadap keputusan MK. Sadar atau tidak MK telah kehilangan martabat dan kemuliannya sebagai penjaga konstitusi.
Hakim MK itu disebut negarawan, maka dia dimuliakan. Tetapi membiarkan ketidakjujuran dan ketidakadilan terjadi dengan mata telanjang, bahkan MK melegalkan itu dengan dalil konstitusional merupakan tragedi bagi demokrasi dan rusaknya konstitusi. MK pun tidak berhak lagi untuk menyandang kemuliaan itu.
Betul, bahwa putusan pengadilan harus kita hormati, tetapi kalau MK tidak menghormati dirinya sendiri, mengabaikan norma dan etika kemuliaan Mahkamah, bagaimana mungkin kita menghormati putusan MK itu?
Wallahualam bis shawab.
Ketua Umum Partai Masyumi
© Copyright 2024, All Rights Reserved