PADA akhir ramadan beberapa tahun lalu, tepatnya hari minggu tanggal 18 Juni 2017, saya memenuhi panggilan seseorang untuk proses wawancara. Rencana wawancara berlangsung di Saung Juang, depan kampus IAIN Syekh Nurjati Cirebon (kini UINSSC). Permintaan tersebut disampaikan saat saya berada di atas Kereta Api, waktu itu hendak menuju Jakarta untuk mengikuti kegiatan yang diselenggarakan Megawati Institute, bertema “Ngaji Bareng Bung Karno”.
Sepulang dari Jakarta, beliau mengingatkan kembali tentang rencana wawancara. Sembari kemudian menyampaikan kisi-kisi pertanyaan yang hendak dibahas. Nampaknya, materi-materi yang diperlukan sebagai jawaban nanti, tidak begitu berat. Disamping sudah menjadi menu keseharian, saya dan seorang yang akan mewawancarai, kebetulan kita berdua sama-sama pegiat pada ‘isu’ itu. Bahkan, dalam kegiatan yang diselenggarakan Fahmina Institute melalui program SETAMAN (Sekolah Cinta Perdamaian), kami berdua ada di satu kelompok yang sama sebagai fasilitator di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat.
Ada lima kisi pertanyaan yang beliau sampaikan melalui percakapan massage di handphone (WhatsApp), yaitu : Pertama, bagaimana anda melihat Pilkada Jawa Barat? Apakah Pilkada Jawa Barat akan terimbas kisruh politik yang terjadi di Jakarta beberapa waktu lalu? Kedua, Menurut anda bagaimana cara mengantisipasi agar isu SARA tidak mengemuka di Pilkada Jawa Barat? Ketiga, apa yang seharusnya dilakukan untuk tetap menjaga persatuan antar umat beragama ketika isu SARA sering menjadi permasalahan dalam perpolitikan kita? Keempat, menurut anda (komunitas Ahmadiyah, Syiah, Kristen) siapa Gubernur yang bisa merangkul semua kelompok minoritas di Jawa Barat? Kelima, apabila ada perpecahan dalam Pilgub Jawa Barat apa yang akan dilakukan oleh tokoh lintas iman?
Meskipun pertanyaan tersebut terkait kondisi perpolitikan 5 tahun lalu, namun isu SARA ini kerap muncul dalam perhelatan pesta demokrasi.
Dalam tulisan ini, saya coba sarikan tanya-jawab wawancara itu dalam bentuk narasi. Sengaja judul di atas saya pilih agar tidak keluar dari tema pembicaraan hasil wawancara. Walaupun demikian, mungkin bisa sebagai gambaran praktek pilkada atau pemilihan di luar Jawa Barat.
Namun, dari 5 (lima) tanya-jawab di atas, hanya 3 (tiga) saja yang saya narasikan, mengingat tanya-jawab point ke 4 (empat) dan 5 (lima) include dalam tanya-jawab sebelumnya pada point 1, 2 dan 3.
Pertama
Bagaimana anda melihat Pilkada Jawa Barat? Apakah Pilkada Jawa Barat akan terimbas kisruh politik yang terjadi di Jakarta beberapa waktu lalu?
Menurut saya, Pilkada Jawa Barat dapat menjadi miniatur proses pilkada bagi daerah lainnya di Indonesia. Jumlah penduduk provinsi Jawa Barat terpadat dibanding daerah lain, bahkan Jawa Barat berada di posisi nomor 1 dari sisi jumlah penduduk se Indonesia. Kepadatan penduduk Jawa Barat sebagai tolak ukur keberhasilan pelaksanaan Pilkada atau Pemilihan Serentak. Semakin padat penduduk maka semakin berpotensi untuk terjadinya kekisruhan politik.
Disamping itu, Jawa Barat juga menjadi kans politik pasca Pilpres. Seluruh elit politik dipastikan tidak ingin ketinggalan kans atau dukungan suara dalam pilkada Jawa Barat.
Banyaknya kepentingan di Pilkada Jawa Barat inilah yang kemudian menambah sederet persoalan pelaksanaan Pilkadananti.
Namun demikian, kepadatan penduduk yang menjadi penyebab utama terjadinya konflik dan kekisruhan politik di pilkada, tidak akan terjadi di Jawa Barat, atau paling tidak, dapat terhindari.
Sekalipun kemajemukan warga begitu kental, keberagaman suku dan agama sangat tinggi, perbedaan karakter dan watak warga juga variatif, namun dalam perspektif pendidikan di provinsi Jawa Barat terbilang meningkat. Tingkat pendidikan inilah yang menjadikan warga Jawa Barat siap menghadapi Pilkada.
Warga Jawa Barat sudah makin cerdas dalam proses pelaksanaan Pilkada. Mereka faham dan dapat memilih pemimpin yang layak untuk daerah, tanpa harus terjebak oleh intrik-intrik politik kaum elit.
Kedua
Menurut anda bagaimana cara mengantisipasi agar isu SARA tidak mengemuka di Pilkada Jawa Barat?
Sebuah kesalahan besar jika ada yang memandang bahwa Pilkada DKI yang lalu disebabkan kampanye SARA. Memainkan isu SARA dalam ajang pemilihan, hanya dilakukan oleh elit politik yang miskin program. Kemajemukan, keberagaman dan pluralitas hal yang pasti ada di tengah-tengah masyarakat, terlebih di Provinsi Jawa Barat sebagai wilayah terpadat. Pilkada DKI kemarin (beberapa tahun lalu) yang nuansa SARA nya begitu kuat mengemuka ke publik, secara perolehan suara tidak berpengaruh sedikit pun.
Bicara soal pemilihan tentu standar berhasil tidaknya dilihat dari hasil perolehan suara. Dari kedua paslon (kandidat), pada Pilkada DKI sebelumnya, berdasar keputusan akhir di KPU, keduanya mendapatkan suara yang tidak berbeda jauh. Sebagaimana diketahui, pasangan Anis-Sandi memperoleh suara sebanyak 3.240.987 atau 57,96%, sementara pasangan Ahok-Djarot memperoleh suara sebanyak 2.350.366 atau 42,04%. Artinya, jika diasumsikan jumlah pemilih tetap warga DKI yang non muslim (kristen, hindu, budha dan kepercayaan) berjumlah 1,5 juta seperti yang pernah didata oleh Pemprov DKI mengenai penyebaran menurut Agama dan Etnis (dari DPT sejumlah 7.684.000 terdiri Muslim 78%, Nasrani 15% dan Tionghoa 7%), maka ada kelebihan suara milik umat Islam sejumlah lebih dari 800ribu suara di pihak paslon Ahok-Djarot. Ini menandakan bahwa isu SARA tidak memiliki pengaruh yang signifikan.
Belum lagi, kalau ternyata warga non muslim pun tidak semuanya memilih pasangan Ahok-Djarot, berarti penduduk muslim di DKI ternyata banyak juga yang memilih pasangan Ahok-Djarot. Atau bisa jadi paslon Ahok-Djarot mendapat dukungan penuh dari umat Islam dalam Pilkada DKI kemarin. Lalu kemana sisa suara tidak sah? apakah itu milik pemilih non muslim jika masih bersikeras menggiring opini SARA di pilkada DKI kemarin? Dipastikan itu adalah suara umat Islam yang tidak menggunakan hak pilihnya. Bahkan, dalam beberapa media menyebutkan alasan mereka tidak menggunakan hak pilihnya dikarenakan apriori, masyarakat DKI sudah stereotip dengan proses pilkada, mereka kecewa dengan tingkah polah/prilaku elit politik yang membawa SARA.
Sekitar sejumlah 1,5 juta kartu/surat suara dibiarkan begitu saja. Jumlah yang tidak sedikit, tentunya.
Tidak cukup sampai di situ, bahwa keyakinan isu SARA masih dianggap sebagai alat kampanye yang jitu, itu menjadi barometer publik bahwa figur calon (paslon) serta Tim Kampanye, tidak memiliki prestasi, rendahnya kapasitas dan bukti lemahnya program pembangunan yang menjadi handalan pada pemerintahan semasa menjabat selama lima tahun ke depan.
Kampanye pada pilkada serentak adalah momentum adu ide, gagasan dan program, bukan strategi adu konten SARA.
Mengenai cara mengantisipasi agar SARA tidak mengemuka ke publik, mungkin dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara, internal dan eksternal. Internal, yaitu melalui intern parpol. Partai politik sebagai peserta pemilihan serta wadah berdemokrasi mesti ketat dalam tahapan-tahapan penyeleksian, agar figur yang akan didaftakan ke KPU sebagai peserta pemilu benar-benar mumpuni dan layak jual.
Partai politik dapat mempertimbangkan calon-calon yang telah resmi mendaftarkan diri ke partainya, tidak sebatas berorientasi pada program dan strategi calon, namun trac-recordnya juga harus jelas. Apakah calon-calon tersebut punya dosa masa lalu berkaitan dengan kasus-kasus SARA atau tidak. Hal ini tak kalah pentingnya, sebab akan berpengaruh fatal. Tidak hanya pada masa-masa kampanye, saat kemenangan diraih lalu kekuasaan ditangan nya berpotensi melakukan dan menciptakan diskriminasi terhadap kelompok minoritas.
Cara yang kedua, yaitu ekternal. Cara ini dilakukan oleh lembaga-lembaga di luar wewenang partai politik. Misalnya, oleh penyelenggara pemilu, baik KPU maupun Bawaslu. Kendatipun terang disebutkan larangan kampanye SARA sebagaimana tertuang dalam pasal 4 PKPU tentang pencalonan (butir b) “Setia kepada pancasila, UUD Negara RI 45, Cita-cita pokok proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan NKRI”, namun praktek politik kerapkali menyinggung masalah SARA. Nampaknya, komitment politik itu perlu ditekankan ulang, misalnya melalui “Deklarasi Pemilu Anti SARA” atau sejenisnya untuk menghindari praktek kotor dan keji yang dapat merusak sendi-sendi utama NKRI.
Cara eksternal, dapat juga dilihat dari lembaga lain selain penyelenggara pemilu. Seperti diketahui, menguaknya isu SARA di pilkada DKI beberapa tahun lalu, adalah disebabkan adanya fatwa lembaga suci, MUI. Fatwa MUI mengenai kewajiban memilih pemimpin muslim, menjadi faktor pemicu. Hingga terbentuk sebuah wadah yang dinamakan GNPF-MUI (Gerakan Nasional Penyelamat Fatwa-MUI). Tanpa tanggung-tanggung, gerakan ini memobilisasi jutaan masa dari berbagai daerah menuju Jakarta.
Semestinya, sebagai lembaga suci tentang keagamaan tidak ikut intervensi dalam perpolitikan. Tidak mengeluarkan pernyataan kontra produktif, menjadikan salah satu kandidat (paslon) terpojokkan. Kalaupun ingin ikut berpartisipasi, cukup sebatas imbauan mensukseskan pelaksanaan pemilu, misalnya fatwa “Haram Golput”, “Anti Money Politik”, "Cegah Hoax" dan lain sebagainya, bukan merugikan seseorang untuk menunaikan haknya sebagai warga negara dalam demokrasi.
Ketiga
Apa yang seharusnya dilakukan untuk tetap menjaga persatuan antar umat beragama ketika isu SARA sering menjadi permasalahan dalam perpolitikan kita?
Harus diakui sekarang setiap kali diadakan pemilihan mengalami proses deparpolisasi. Masyarakat seakan sudah tidak percaya dengan adegan-adegan politik yang dilakukan kaum elit politik, baik kandidat, parpol, pendukung, tim kampanye maupun relawan. Hal itu, menambah sederet persoalan penyelenggara pemilu. Angka golput (suara tidak sah) semakin meningkat, keterlibatan masyarakat sebagai vooters menurun. Ini menunjukkan sikap publik yang stereotip terhadap demokrasi.
Untuk tetap menjaga persatuan antar umat beragama ketika isu SARA muncul di perhelatan demokrasi atau perpolitikan, maka dapat dimulai dari proses rekruitment yang selektif oleh parpol sebelum diajukan ke KPU sebagai calon tetap. Disamping itu juga, praktek koalisi yang terbangun harus punya komitment bersama untuk menjaga persatuan dan kesatuan.
Terkadang, laku transaksional antar partai kurang memperhatikan terkait isu SARA ini. Seringkali, praktek koalisi lebih dominan pada pragmatisme. Maka, tidak heran jika kemudian isu SARA selalu hadir dalam kancah perpolitikan.
Sehingga, revitalisasi peran parpol perlu dilakukan. Setiap parpol memiliki ad/art, program dan visi misi, yang seluruhnya merupakan ideologi partai. Penguatan ideologi, etika politik dan kemampuan mengelola konflik menjadi penting dilakukan, agar praktek politik tidak terjebak dalam pola pragmatisme namun lebih berbasis ideologi.
*Mahasiswa S2 UMJ dan Pegiat Kepemiluan
© Copyright 2024, All Rights Reserved