SAYA memang pernah bersemangat mendukung gerakan yang disebut reformasi demi menggantikan Orde Baru dengan Orde Reformasi yang diharapkan mampu menghadirkan demokrasi di persada Nusantara tercinta.
Satu di antara sukma adiluhur demokrasi adalah apa yang disebut sebagai kebebasan.
Kebencian
Sayang setriliun sayang ternyata setelah duapuluhtahun berlalu kini kebebasan yang dihadirkan demokrasi yang dihadirkan Orde Reformasi terbukti memunculkan suatu dampak samping kurang selaras dengan keaslian fitrah budi pekerti bangsa Indonesia yang santun, ramah dan cinta damai.
Ternyata kebebasan memunculkan suatu dampak samping berupa budaya baru yaitu budaya saling lapor akibat budaya saling benci yang mewarnai suasana kehidupan peradaban bangsa Indonesia masa kini.
Apabila dahulu bangsa Indonesia membenci bangsa asing yang menjajah maka setelah lebih dari tujuhpuluhtiga tahun merdeka kini bangsa indonesia membenci sesama warga bangsa sendiri akibat beda junjungan sebagai calon presiden negeri sendiri.
Kebebasan
Di tengah keprihatinan menghadapi budaya saling benci yang sedang mewabah di Tanah Air Udara tercinta, saya bersyukur bahwa sahabat merangkap mahaguru saya dalam upaya perenungan terhadap kedalaman makna Pancasila, Dr.Yudi Latif mengirimkan sebuah meme serial pembelajaran merunduk berjudul Memuliakan Kebebasan†dengan teks wejangan arif bijaksana sebagai berikut:
Kebebasan itu menyerupai Dyonisus (dewa anggur, susu, madu sekaligus dewa darah) dengan penampakan ganda: malaikat dan iblis, kecantikan dan teror. Kebebasan itu seperti ekses alkoho ; menghangatkan darah dengan efek yang mengerikan. Apa yang bisa membawa spontanitas dan kegembiraan bisa juga menimbulkan kehilangakalan dan kebrutalan. Kebebasan harus digunakan secara bijaksana. Ia adalah sesuatu yang berharga dengan efek ganda: menghidupkan sekaligus menghancurkan. [***]
Penulis adalah pendiri Sanggar Pembelajaran Kemanusiaan
© Copyright 2024, All Rights Reserved