Demokrasi di Indonesia dinilai sudah cacat. Pasalnya, oligarki seperti mengangkangi negara, oposisi sudah tidak bertaji dan diberangusnya kekebasan berpendapat.
- Ipar Jokowi Jadi Ketua MK Lagi, Jerry Messie Khawatir Bakal Untungkan Oligarki
- Wajah Baru Politik Transaksional
- Dekan FH Unri: Sistem Proporsional Terbuka Disenangi Para Oligarki
Baca Juga
Begitu salah satu poin pandangan Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Fahmi Wibawa dalam webinar "Ritual Oligarki Menuju 2024", seperti dimuat Kantor Berita Politik RMOL, Senin (30/1).
"Demokrasi di Indonesia dinilai cacat yang ditandai dengan oposisi yang lemah, kebebasan sipil yang menurun, dan menguatnya negara dalam menekan kritik," ujar Fahmi.
Pendapatnya bukan tanpa alasan. Fahmi mengatakan, selama tahun 2022 beberapa produk aturan yang dinilai bertentangaan dengan nilai-nilai demokrasi lolos dan pandangam publik di abaikan. Beberapa produk peraturan perundang-undangan yang didorong pemerintah itu yakni, revisi UU KPK, UU Cipta Kerja, UU Minerba, dan klimaksnya adalah pengesahan UU KUHP 2022.
"Peraturan-peranturan itu menempatkan iklim demokrasi Indonesia di titik nadir," katanya.
Sekalipun diklaim pemerintag sebagai formula dalam menghadapi ancaman resesi global, kata Fahmi, berbagai produk hukum oligarkis tersebut justru menjerumuskan Indonesia.
"Yang diklaim sebagai formula mengantisipasi ancaman resesi ekonomi global sekaligus menyongsong Pemilu 2024, sejatinya malah memasung demokrasi dan mengerdilkan peran rakyat," tandasnya.