Merapatnya Partai Amanat Nasional (PAN) ke partai politik pendukung pemerintahan Presiden RI, Joko Widodo akan melemahkan kekuatan oposisi. Sebab, partai yang masih konsisten menjadi oposisi hanya Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat.
Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR), Ujang Komarudin mengatakan, sebelum masuknya PAN, pemerintah pun sudah sangat kuat. Hal tersebut dibuktikan ketika revisi UU KPK dilakukan dan pengesahan UU Ciptaker oleh pemerintah saat PAN belum menjadi koalisi.
"Semua UU itu ditolak rakyat, buruh, dan lainnya. Tapi semuanya disetujui oleh partai koalisi yang ada di parlemen," kata Ujang kepada Kantor Berita RMOLJabar, Senin (30/8).
Ia menilai saat PAN telah bergabung, otomatis PKS dan Partai Demokrat tidak memiliki kekuatan di parlemen. Walaupun tidak memiliki kekuatan di parlemen, tetapi kedua partai tersebut dapat mengkritisi kebijakan pemerintah baik di dalam dan di luar parlemen.
"Memang kalau divoting atau pemilihan suara apapun terkait dengan kebijakan yang diajukan, pasti kalah. Tetapi masih bisa mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah yang dianggap tidak pro rakyat," tegasnya.
Kendati demikian, Ujang berkeyakinan bahwa semua pihak membutuhkan pemerintahan yang kuat tetapi di saat yang sama juga membutuhkan oposisi yang kuat dan tangguh. Jika koalisi pemerintah kuat sedangkan oposisi tidak kuat, maka tidak akan ada check and balances, tidak ada kontrol, tidak ada yang mengawasi pemerintah.
"Secara matematika mereka (pemerintah) akan berbuat seenaknya dalam konteks mengajukan kebijakan yang nantinya dianggap bertentangan dengan kehendak atau tidak pro rakyat. Tetapi walaupun minim dan lemah, mereka (oposisi) masih mengkritik terkait dengan kebijakan-kebijakan itu, tapi terkait voting serta pemilihan suara, pasti kalah," tegasnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved