DELIK perzinahan di dalam RKUHP kembali menjadi polemik di tengah publik. Pasalnya, delik ini dianggap sebagai bentuk yang paling ekstrim dimana kekuasan negara masuk ke dalam ruang privat warga negaranya.
Letak kontroversialnya sebenarnya, terdapat dalam perluasan makna perzinahan itu sendiri.
Di dalam KUHP, pemaknaan terhadap delik perzinahan di restriksi dengan mensyaratkan adanya hubungan perkawinan antara suami dan istri yang sah secara hukum.
Artinya, delik perzinahan hanya berlaku bagi yang melakukan persetubuhan dengan suami atau istri yang bukan pasangannya, sementara mereka masih terikat perkawinan suami istri yang sah atau, laki-laki atau perempuan yang belum terikat perkawinan namun turut serta melakukan persetubuhan dengan suami atau istri sah orang lain.
Hal tersebut secara keseluruhan merupakan adopsi penuh dari KUHP Belanda pasca perubahan Undang-Undang 15 Januari 1886 (Stbl.6).
Pada masa itu, perubahan dalam KUHP Belanda yang masih terdapat sisa adopsi dari Code Penal Prancis, berkenaan dengan norma larangan perzinahan (overspel) dianggap perlu dilakukan perubahan, karena stelsel yang berlaku hanya memberikan keuntungan terhadap laki-laki.
Modderman, Menteri Kehakiman Belanda zaman itu menyampaikan pendapatnya di hadapan para anggota parleman:
“Dalam pandangan saya, sikap itu telah tepat adanya dan pembedaan yang diberlakukan di Code Penal dibuat demi keuntungan laki-laki pada prinsipnya adalah penyimpangan yang tidak dapat dibenarkan terhadap asas kesederajatan (persamaan dihadapan hukum). Ketika kita mengatakan bahwa perzinahan yang dilakukan istri membawa konsekuensi lebih buruk daripada bila dilakukan suami, tidakkah seketika kita dapat membalikkan keadaan ?”
Dilanjutkan kemudian olehnya:
“Dari sudut pandang kesusilaan (moralitas) tidak ada beda antara keduanya : kewajiban untuk menjaga kesucian perkawinan atau kesetiaan berlaku bagi keduanya, suami maupun istri”.
Walaupun pada akhirnya seorang jurist dari Jerman bernama Hugo Meijer mengungkapkan sisi dilematis soal delik ini. Dimana menurut pandangannya, dengan menuntut pertanggungjawaban pidana perzinahan (overspel) yang dilakukan oleh suami atau istri terhadap pasangannya merupakan bentuk: “contradict the nature of marriage”.
Sementara di India, berkenaan dengan delik perzinahan (adultery) selalu dianggap mewakili ekspresi kelompok patriarkal dimana laki-laki dapat mengontrol penuh seksualitas perempuan.
Sehingga pada tahun 2018 Mahkamah Agung India mengeluarkan putusannya dalam perkara Joseph Shine Vs Union of India. Salah satu Hakim Agungnya yang bernama D.Y. Chandrachud menyatakan:
“control sexuality of women hits the autonomy and dignity of women. When husband and wife marry, wife has not given up on her sexual freedom on her sexuality……and section 497 of the Indian Penal Code, 1860, deprives a woman over her sexuality of her sexual freedom it goes against the concept of privacy and dignity under article 21 of the Constitution of India”.
Pasca putusan tersebut, saat ini di India Perzinahan (adultery) bukan dianggap lagi sebagai delik. Melainkan masuk ke dalam ruang lingkup urusan hukum keluarga yang dapat dijadikan sebagai salah satu dasar awal untuk mengajukan peceraian.
Dari lintas zaman dan negara ternyata, peristiwa perubahan konsepsi perzinahan baik yang terdapat dalam KUHP Belanda maupun India, dengan perbedaan latar belakang kultur, sosial, dan politiknya, tetap menyisakan sejarah yang universal.
Universalitas itu adalah soal keadilan terhadap perempuan dan mengeluarkannya dari penindasan kultur patriarkal, serta kemudian hal tersebut menjadi dasar ratio legis dari perubahan hukumnya.
Sementara di RKUHP Indonesia dalam Pasal 415, perzinahan kemudian mengalami perluasan makna yang ekstrim, yakni mencakup laki-laki atau perempuan yang melakukan persetubuhan tanpa terikat perkawinan dengan pasangannya.
Munculnya pasal tersebut, justru memberi kesan ahistoris terhadap peristiwa-peristiwa penting yang menjadi latar belakang perubahan dan perkembangan hukum di dunia, serta berdampak terhadap rapuhnya landasan ratio legis yang dipergunakan.
Dengan demikian, sudah selayaknya pasal tersebut dihapuskan dari RKUHP. Sebagai penutup, seorang Filsuf Prancis yang bernama Michael Foucault pernah berkata:
“…on the other hand of permissive or restrictive law which tell us what we should or shouldn’t do. Sexual behavior is more than that”.
*Penulis adalah Advokat dan Partner di Depari and Vretani Law Firm
© Copyright 2024, All Rights Reserved