DALAM menjalankan roda organisasi, dibutuhkannya sumber daya manusia yang cukup banyak. Meskipun tidak hanya menitikberatkan kepada kuantitas saja tetapi juga kualitas setiap kader.
Harus dilakukannya pola perkaderan yang dapat menarik minat dari para calon kader tetapi tidak melupakan esensi dari perkaderan itu sendiri.
Seperti yang kita ketahui, HMI yang berfungsi sebagai organisasi kader sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 8 AD HMI. Karenanya, dirasa perlu HMI melakukan pola perkaderan demi tercapainya tujuan dari organisasi.
Pola perkaderan yang dilakukan oleh HMI harus selalu berubah mengikuti perkembangan zaman dan tidak bisa hanya stagnan saja. Dewasa ini sudah mulai menurunnya calon kader yang berminat untuk bergabung dalam HMI. Mengapa demikian? karena HMI telah hilang kemasannya sebagai pemenuh kebutuhan para calon kader yang fitrahnya adalah seorang mahasiswa.
Oleh sebab itu, HMI kehilangan kepercayaan dari para calon kader. HMI sudah mulai mengalami kesulitan untuk masuk ke dalam beberapa universitas atau bahkan mendapat penolakan keras. Di beberapa universitas pun, HMI sudah tidak terlihat lagi taringnya atau bahkan sudah meredup. Dari hal seperti ini saja sudah terlihat bahwa menurunnya pola perkaderan dari HMI. Hal seperti ini, pasti dirasakan oleh setiap kader HMI yang berjuang di roda perkaderan.
Para kader HMI dituntut untuk selalu berinovatif dalam menciptakan pola perkaderan tanpa melupakan pedoman perkaderan sebagai acuan utamanya. Terutama dimulai dari pintu gerbang masuk kedalam HMI yaitu proses Maperca. Maperca merupakan masa dimana para calon kader dikenalkan secara singkat mengenai HMI.
Disini para kader HMI dituntut untuk bisa membawa calon kader masuk kedalam HMI secara lebih jauh lagi ketahap selanjutnya yaitu mengikuti Latihan Kader 1 (LK-1/Basic Training).
Maka dari itu, proses Maperca ini sangat penting sekali. Kebanyakan pada masa sekarang ini, pola perkaderan begitu monoton dan kurang menarik minat calon kader.
Pola yang sering digunakan para kader HMI adalah mengumpulkan para calon kader kedalam suatu forum, lalu mengenalkan HMI dengan perbincangan biasa saja. Bahkan tidak jarang adanya unsur pemaksaan dalam mengajak calon kader untuk masuk ke dalam HMI.
Seharusnya proses Maperca jangan hanya dilakukan dengan cara yang monoton. Karena mudah dilupakan dan sangat tidak berkesan. Tetapi Maperca juga harus dengan hal yang bermanfaat seperti dimulai dari diskusi, belajar bersama, ataupun membuat suatu prakarya untuk mengajak para calon kader mengenal lebih jauh apa itu HMI.
Cara lain bisa juga dilakukan dengan membuat suatu prestasi yang cukup bisa diperhitungkan di mata calon kader ataupun universitas, sebagai pemicu awal yang membuktikan bahwa HMI itu juga merupakan tempat belajar para calon kader. Kader HMI tidak bisa hanya berbicara bahwa HMI itu baik, HMI itu tempat belajar dan sebagainya dalam masa pengenalan ini.
Tetapi juga harus mampu membuktikan bahwa adanya perbedaan kualitas antara mahasiswa yang merupakan kader HMI dengan mahasiswa yang bukan merupakan kader HMI. Disinilah titik yang harus ditekankan pada pola perkaderan sekarang, agar menarik minat calon kader untuk masuk kedalam HMI.
Karena pada saat ini sikap dari kebanyakan calon kader adalah pasif dan tidak perduli, serta hanya memandang HMI sebelah mata. Misalnya saja, mereka memandang bahwa HMI hanya bisa demo atau bahkan yang lebih ekstrim lagi, HMI merupakan tunggangan politik. Kita tidak bisa menyalahkan mereka, karena memang hal seperti itu yang sangat terlihat sekarang.
Tetapi dengan melakukan perubahan pola perkaderan dari pasif menjadi lebih aktif, sambil dimulailah perlahan pengikisan terhadap stigma-stigma negatif yang beredar terkait HMI. Serta pentingnya, pemberian penekanan-penekanan bahwa HMI adalah tempat yang tepat untuk para calon kader belajar berorganisasi ataupun belajar hal-hal yang tidak didapatkan di bangku kuliah juga perlu dilakukan.
Terlepas daripada itu, ada begitu banyak cara lain yang bisa mendorong roda perkaderan agar lebih keras untuk berputar dengan menyesuaikan culture dari masing-masing daerah. Pola perkaderan yang baik, merupakan benih untuk terciptanya kader yang memiliki 5 kualitas insan cita.
Kader yang berkualitas diharapkan bisa menjadi ujung tombak penerus dari organisasi dengan mengedepankan tujuan dari organisasi dan mengesampingkan kepentingan pribadinya. Serta dapat mencetak kader yang bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhai Allah SWT.
Meningkatkan Kualitas Kader HMI
Tolak ukur sukses-tidaknya perkaderan pada HMI dicermati sejauh mana kualitas pengader & kualitas kader yg dibentuk, bukan dalam kuantitas kader. Menelisik dalam perkaderan pada HMI selama ini, terdapat semacam kenyataan rekrutmen kader secara akbar atau besar-besaran, baik pada jenjang pendidikan LK 1, pada jenjang pendidikan LK 2 juga pada jenjang pendidikan LK 3. Tetapi, tidak diikuti dengan kualitas kader menjadi representasi kader HMI.
Artinya, ada yang lemah dalam perkaderan pada HMI, yaitu kulitas kader. Hal ini terjadi lantaran kualitas pengkader & seleksi kader yang tidak diperketat. Rekrutmen kader LK 1 mungkin mampu dimaklumi direkrut sebanyak-banyaknya. Tetapi, ditingkatan LK dua & LK 3, wajib benar benar diseleksi dengan ketat.
Mengingat, kader HMI merupakan calon-calon pemimpin masa depan. Dengan demikian, intelektualitas & integritas kader kader HMI tidak diragukan lagi. HMI siap menaruh pemimpin-pemimpin besar untuk Indonesia masa depan.
Kualitas kader sebagai penekanan primer pada perkaderan pada HMI. Pertama-tama, yg wajib diperhatikan merupakan kualitas pengkader. Pengkader selain melanjutkan regenerasi pada HMI, disisi lain sebagai energi pengkader atau pendidik pada HMI sekaligus sebagai model bagi kader-kader lain.
Oleh lantaran itu, kualitas pengkader sebagai tolak ukur sukses-tidaknya kader. Tetapi, bukan berarti lalu tanggungjawab perkaderan pada HMI sebagai beban pengkader semata. Keterlibatan & partisipasi seluruh elemen pada HMI sebagai sangat urgen pada mencetak kader yg berkualitas dan dukungan moril & dukungan materiil menurut aneka macam pihak demi kelancaran perkaderan & regenerasi pada HMI.
Kedua, tolak ukur sukses & tidaknya perkaderan pada HMI dipandang dalam berukuran kualitas kader. Kualitas kader tergantung dalam kualitas pengader yg membentuknya.
Perkaderan pada HMI tidak relatif dalam LK 1, LK dua & LK 3, yg terkesan seremonial belaka. Kader-kader mesti disediakan wadah menjadi proses berkelanjutan, menggunakan menyediakan kajian-kajian ilmiah, menganalisis isu- isu yg terjadi pada masyarakat, berpartisipasi dalam menyuarakan kebenaran, membicarakan aspirasi masyarakat , supaya kader-kader HMI peka menggunakan isu-isu sosial.
Ketiga, global kini telah masuk pada era post truth dimana media dibanjiri menggunakan macam-macam fakta. Orang bebas mengekspresikan pikirannya pada media tampa sedikit pun ragu. Orang bebas mencaci maki & mengekspresikan kebencian. Isu-isu SARA yg bertebaran dimana-mana. Madia sebagai sentra fakta & pendidikan malah bergeser sebagai loka atau indera buat meyebarkan kebencian, caci maki, & saling menghina.
Pergeseran fungsi media menjadi sentra fakta & alat buat belajar sekarang berubah 180 % sebagai alat atau senjata untuk menjatuhkan orang lain atau melumpuhkan orang lain, bahkan tidak sporadis dimanfaatkan buat kepentingan pihak-pihak tertentu. Apakah pada bentuk komoditas juga pada bentuk politik.
Dalam syarat semacam ini kader HMI dibutuhkan agar bisa melewatinya. Tentu menggunakan pembentukan kualitas kader yg berintelektual & berintegritas. Tidak sanggup pada tolak, tidak ada cara lain, selain melibatkan diri didalamnya.
Kader-kader wajib dibekali menggunakan kualitas yang mumpuni. Tidak hanya buat membentengi dirinya sendiri, disisi lain bertanggungjawab atas terwujudnya warga yg pada ridhoi sang Allah SWT menjadi tanggungjawab sosialnya.
Penulis adalah Departemen Diklat HMI Komisariat Al-Ghifari
© Copyright 2024, All Rights Reserved