Memandang masyarakat Tionghoa sebagai Warga Negara Indonesia, serta mengedepankan toleransi antar suku, agama, ras dan antar golongan (SARA) dinilai bisa menyelesaikan permasalahan bangsa hingga berimplikasi terhadap kesejahteraan masyarakat.
Saat ini perkembangan budaya Tionghoa terus mengalami terang redup di wilayah Priangan Timur Jawa Barat. Hal ini disebabkan gangguan-gangguan dan dinamika politik yang terjadi.
Anggota DPRD Jabar, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa Johan J Anwari menjelaskan, tataran toleransi kerukunan berbangsa dan bernegara harus diawali dari membiasakan saling memahami.
Menurutnya, persoalan-persoalan SARA bisa selesai jika semua umat bangsa bisa saling memahami budaya satu dengan yang lainnya.
"Tionghoa sebagai Warga Negara Indonesia, bahkan oleh Gusdur, Konghucu diakui sebagai agama dan budaya. Sehingga warga Chinese adalah Bangsa Indonesia," tegas Johan kepada Kantor Berita RMOLJabar, Rabu (2/1).
Meski dari budaya berbeda, kata Johan, tetapi memiliki satu bangsa yang sama, yakni Indonesia. Ia mengakui, Imlek memang penanggalan China yang lebih tua dari Masehi dan Hijriah.
"Semua punya urutan tahun dan menjadi tradisi dan budaya. Salahsatu yang harus kita biasakan adalah memahami budaya masing masing," tuturnya.
Dalam perayaan Imlek, Johan menyebut, harus diikuti budayanya secara proporsional oleh siapa pun. Karena, tambahnya, hal ini melambangkan toleransi beragama dapat membangun sebuah bangsa menjadi harmoni dan bekal untuk mensejahterakan.
"Kita harus belajar bergaul memahami budaya masing masing, kalau perlu mengikuti budaya, bukan berarti melebur. Imlek kan kita datang, bisa saja nanti warga Tionghoa juga datang pada saat Tahun Baru Hijriah." tutupnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved