KERETA Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) kembali menjadi sorotan publik tanah air. Ini lantaran orang kepercayaan Presiden Joko Widodo di pemerintahan, Luhut Binsar Pandjaitan gagal melobi bunga utang ke China turun menjadi 2 persen. Bunga utang akhirnya dipatok 3,4 persen per tahun dengan tenor selama 30 tahun.
Sebelum membahas detail biaya pembangunan proyek mercusuar Presiden Jokowi ini, alangkah lebih baiknya kita bahas terlebih dulu tentang urgensi pembangunan KCJB.
Jalur kereta cepat membentang sepanjang 142,3 km dari Jakarta ke Bandung, dengan tipe kereta terbaru diklaim bisa menjangkau jarak tersebut hanya dalam hitungan kurang dari satu jam. Kereta akan beroperasi pukul 05.30 WIB hingga 22.00 WIB dan melewati empat stasiun besar, yaitu Stasiun Halim di Jakarta Timur, Stasiun Karawang di Kecamatan Telukjambe, Stasiun Padalarang di Kabupaten Bandung Barat, dan Stasiun Tegalluar di Kabupaten Bandung.
Harga tiket akan dibanderol Rp 125 ribu (rute terdekat) hingga Rp 350 ribu (rute terjauh). KCJB memiliki 3 kelas, yakni kelas VIP dengan total 18 penumpang, kelas 1 dengan total 28 penumpang dan kelas 2 dengan total 555 penumpang.
Siapa Target Pasar Kereta Cepat?
Pertanyaan ini penting untuk dijawab, bahkan sebelum proyek dijalankan. KCJB merupakan proyek transportasi massa, sehingga berbicara balik modal dan keuntungan bukan hal yang tabu. Apalagi, secara terang disebut tiket akan dibanderol hingga Rp 350 ribu.
Harga tersebut terbilang wah jika dibanding naik bus ber-AC dari Lebak Bulus ke Leuwipanjang yang dihargai kurang dari Rp 130 ribu, sedang kisaran harga travel Rp 85 ribu hingga Rp 200 ribu.
Sementara kereta api Argo Parahiyangan dari Stasiun Gambir ke Stasiun Bandung untuk kelas ekonomi hanya dihargai Rp 110 ribu. Jika ingin naik yang kelas eksekutif, maka hanya tinggal tambah Rp 50 ribu lagi. Kelebihannya, kereta ini berangkat dan tiba dari pusat, yaitu Kota Bandung dan Gambir, Jakarta Pusat.
KCJB yang dihargai hingga Rp 350 ribu berangkat tidak dari pusat Kota Jakarta. Kereta juga hanya akan mencapai pinggiran Kota Bandung, yaitu di Tegalluar, Kecamatan Bojongsoang, Kabupaten Bandung. Perjalanan ke kota diprediksi akan memakan waktu 30 menit, itupun jika tidak macet.
Ini baru soal pilihan harga. Lalu siapa saja yang ditarget?
Mayoritas warga Jakarta pergi ke Bandung untuk mengisi liburan. Suasana yang dingin, berbelanja pakaian, dan objek wisata beragam menjadi daya tarik Kota Bandung. Sementara dari Bandung ke Jakarta lebih pada urusan bisnis dan mencari kerja.
Dari sekian prediksi tersebut, yang akan sering menggunakan kereta cepat adalah kelompok pebisnis. Sebab, mereka yang hendak liburan biasanya memotong biaya transportasi agar bisa lebih nyaman menikmati libur di tempat tujuan. Jarang dari para pelancong yang ingin menikmati moda transportasi publik saat berlibur.
Pebisnis membutuhkan kereta cepat karena bisa memangkas waktu tempuh. Namun demikian, mereka juga bisa menggunakan kendaran pribadi yang hanya memakan waktu 2,5 jam dari Bandung ke Jakarta. Bahkan jika Tol Jakarta-Cikampek II selesai dibangun, waktu menggunakan kendaraan pribadi akan lebih cepat, yaitu 1 jam saja.
Lalu bagaimana dengan hitungan jangka panjangnya?
Apakah pebisnis dari Bandung masih akan ke Jakarta jika pembangunan Ibukota Negara (IKN) rampung. Bukankah nanti akan ada pergeseran bisnis dari Jakarta ke Nusantara di Kalimantan, walaupun tidak banyak. Perlu dijawab juga, apakah KCJB masih efektif digunakan saat Nusantara sudah selesai? Kan utang KCJB tidak otomatis rampung saat proyek IKN rampung?
Biaya Sudah Membengkak
Indonesia tergiur bekerja sama dengan China lantaran biaya proyek hanya ditaksir menghabiskan dana 5,13 miliar dolar AS (Rp 75,9 triliun, kurs Rp 14.800) oleh pemerintah China pada 2015. Anggaran itu jauh lebih murah dari penawaran Jepang seharga 6,2 miliar dolar AS (Rp 91,8 triliun). Tawaran menggiurkan sehingga Presiden Jokowi buru-buru melakukan groundbreaking pembangunan jalur kereta pada 21 Januari 2015 di daerah Walini, tepatnya di Perkebunan Mandalawangi Maswati, Cikalong Wetan, Bandung Barat, Jawa Barat. Walaupun saat kesepekatan dengan China diteken proposal proyek sudah naik menjadi 6,07 dolar AS (Rp 89,9 triliun) yang kemudian dibentuk secara resmi PT Kereta Cepat Indonesia-China (KCIC) sebagai pemegang proyek.
KCIC merupakan perusahaan patungan antara konsorsium Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Indonesia melalui PT Pilar Sinergi BUMN (PSBI) dan konsorsium perusahaan kereta api China melalui Beijing Yawan HSR Co. Ltd, dengan skema Indonesia business to business (B2B) di sektor transportasi umum. Target awalnya mereka akan merampungkan proyek ini di tahun 2019. Andai waktu itu selesai, pasti Jokowi bisa menang mutlak di Pilpres 2019.
Kini target molor menjadi Agustus 2023. Namun pembengkakan biaya (cost overrun) telah terjadi. Alasan biaya naik diklaim karena pembebasan lahan yang ikut naik. Di tahun 2021, membengkak dari 6,07 miliar dolar AS menjadi 8 miliar dolar AS (Rp 118,5 triliun). Angka didapat saat Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko KAI, Salusra Wijaya melapor ke DPR RI. Sementara Pembengkakan berdasarkan perhitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) pada 9 Maret 2022 adalah sebesar 1,17 miliar dolar AS atau setara Rp 17,3 triliun. Namun saat itu belum ada keputusan resmi tentang berapa jumlah cost overrun.
Hingga pada akhirnya Wakil Menteri BUMN II Kartika Wirjoatmodjo mengatakan bahwa Indonesia dan China sudah menyepakati cost overrun proyek KCJB sebesar 1,2 miliar dolar AS atau setara Rp 17,7 triliun. Total anggaran pembangunan kini menjadi 7,27 miliar dolar AS atau setara dengan Rp 107,6 triliun, atau lebih mahal Rp 15,8 triliun dibanding proposal awal yang ditawarkan Jepang.
Komposisi pembiayaan proyek ini adalah 75 persen berasal dari pinjaman China Development Bank (CDB). Sementara 25 persen sisanya dari setoran modal konsorsium dua negara yaitu Indonesia dan China. Indonesia sebagai pemegang saham mayoritas, melalui konsorsium BUMN membayar 60 persen. Sedang 40 persen sisanya berasal dari konsorsium China.
Total pinjaman Indonesia ke CDB sebelum terjadi pembengkakan adalah senilai 4,55 miliar dolar AS (Rp 67,4 triliun). Kesepakatan untuk ini diteken pada 12 Mei 2017, dengan tenor 40 tahun dan masa tenggang 10 tahun, dan availibility period hingga 2022. Sementara suku bunga pinjaman sebesar 2 persen untuk dolar AS dan 3,5 persen untuk Yuan.
Sementara untuk pinjaman cost overrun Indonesia ke CDB sebesar 560 juta dolar AS atau Rp 8,3 triliun. Sialnya, orang kepercayaan Pak Jokowi, Luhut Binsar Pandjaitan gagal melobi China untuk menurunkan bunga utang menjadi 2 persen. Adapun bunga yang ditawarkan oleh China mencapai 3,4 persen per tahun dengan tenor selama 30 tahun.
Kini beban proyek itu menjadi genting, bisa-bisa subsidi untuk rakyat kecil kembali ditekan atau bahkan dihapus seperti BBM jenis Premium.
*Penulis adalah Pemimpin Redaksi Kantor Berita Politik RMOL
© Copyright 2024, All Rights Reserved