UNFOLLOW akun figur politik untuk mendapatkan konklusi politis yang spesifik adalah cara 'jadul' untuk mengetahui sejauh mana figur politik dari level daerah hingga nasional betul-betul terasa kinerjanya. Semenjak banyak figur politik yang dikandung dari rahim sosial media dan dilahirkan oleh bidan yang disebut 'buzzer', kita betul-betul dibawa hanyut oleh visualisasi figur politik yang hampa.
Figur Politik hampa adalah figur yang berwujud tapi tak terasa manfaatnya. Figur itu terus menerus membuat deskripsi dan visualisasi kehebatan programnya tapi kita sama sekali tak tersentuh atau bahkan tidak tahu apa manfaat nyata untuk diri kita.
Contoh saja, ada Kartu Indonesia Pintar (KIP), apakah kepintaran/kualitas kependidikan kita benar-benar di stimulus karena eksistensi kartu tersebut? Kartu itu hanya ada sebagai realisasi program, tapi 'alpa' sebagai kebutuhan masyarakat.
Steve Tesich melalui esainya pada harian The Nation (1992) mengutarakan kerisauannya terhadap gejala politik yang mengedepankan pembenaran bukan kebenaran. Maraknya orang memainkan opini publik dengan mengesampingkan sampai mendegradasikan data dan fakta informasi yang objektif. Tesich menamai gejala ini post truth politics.
Bagi awam, data dan fakta objektif cukup menjadikan aspek lahiri dan batini dari ujung rambut sampai ujung kaki sebagai rujukan, jika seorang pemimpin tidak memiliki satu sentuhan saja kepada dua aspek tersebut maka hilanglah pemimpin itu dalam diri kita.
Kekaguman visual kadang membuat mundur langkah pikir rasional kita. Media sosial dalam literatur Ilmu Komunikasi berfugsi sebagai alat atau medium 'penyampai' pesan. Secara mekanis media sosial bebas menyampaikan pesan apapun, tetapi secara etis (etika) pesan itu harus disaring melalui budaya dan apa-apa yang berkembang di masyarakat.
Maka, figur politik sebagai manusia yang terikat etika dan hukum harus melakukan agenda moral. Urgensi moral dalam visualisasi pesan di era sekarang adalah komitmen untuk jujur, tidak menebar HOAX. HOAX dalam kinerja, HOAX dalam publikasi diri dan lain-lain.
Siapapun yang beranggapan dirinya sebagai figur politik di era sekarang, harus menggunakan jiwa raganya untuk dirasakan publik bukan dilihat publik. Makna 'dirasa' berarti mengakar sampai ke tubuh publik, apa yang di realisasikan dan apa yang hendak di cita-citakan. Sementara makna 'dilihat' berarti hanya sampai di mata publik, semu.
Jaman dulu, figur politik berbohong dalam janji (kampanye), jaman sekarang, figur politik berbohong tentang diri. Jika bohong sudah dipupuk dalam diri seorang figur politik, maka itu yang disebut karakter. Menurut David Hume, filsuf asal Skotlandia karakter adalah hasil dari sebuah sistem dari prinsip yang dibiasakan.
Maka, meng-unfollow akun sosial media para pemimpin level daerah hingga nasional adalah cara paling rasional agar kita benar-benar merasakan kinerja kepemimpinan mereka sampai ke bagian lahiri dan batini kita. [***]
Penulis adalah Dosen Ilmu Komunikasi Fisip Universitas Pasundan.
© Copyright 2024, All Rights Reserved