RASANYA kita tidak diberi kesempatan rehat sejenak saja dari hiruk pikuk permasalahan hukum di negeri ini.
Setiap isu menjadi makin riuh di era keterbukaan dan kemudahan akses informasi, di mana semua orang memiliki akses dan kesempatan yang sama untuk bersuara.
Hampir semua berita di media online membuka kolom komentar yang bisa diisi siapa saja. Pun, hampir semua orang memiliki akun medsos pribadi, di mana pemiliknya bisa menulis apa saja dan dibaca siapa saja.
Saking banyaknya kasus yang “menarik” untuk diangkat sampai netizen bingung. mana kasus yang sungguh-sungguh kasus, dan mana yang sekedar dimunculkan untuk menutupi kasus yang sesungguhnya.
Tidak asing bagi kita bahwa ada praktik menutup kasus dengan membuat atau mengangkat kasus lain. Sejak lama publik mengetahui adanya praktik culas, di mana ada kasus yang sengaja didiamkan dan baru akan dimunculkan ketika ada kasus yang besar yang dianggap berdampak negatif bagi lingkar elit penguasa.
Tidak jarang ada kasus hukum yang belasan tahun didiamkan tiba-tiba dimunculkan kembali sebagai alat sandera politik atau untuk kasus lain. Hal ini terutama menjelang tahun politik.
Hukum dan kekuasaan memang saling membutuhkan. Keduanya saling menguatkan, tapi tidak jarang juga saling mengunci. Kasus yang sebenarnya ringan dan semestinya bisa diselesaikan dalam hitungan pekan bisa berlarut-larut hanya karena kasus tersebut melibatkan elit politik.
Dua kasus yang sedang hangat saat ini adalah kasus Sambo dan Subekhi. Keduanya memiliki kemiripan dalam status hubungan antara pelaku dan korban, yaitu hubungan yang tidak setara.
Dalam hal ini penulis menyebutnya dengan istilah relasi kuasa. Relasi kuasa merupakan kondisi di mana salah satu pihak memiliki atribusi serta power yang lebih tinggi dibandingkan yang lainnya, di mana pemilik power menggunakan kuasanya untuk menguasai individu atau kelompok yang dianggap lemah.
Rasanya belum lupa dalam ingatan kita seorang polisi berpangkat Bripda bernama Randy Bagus Hari Sasongko dengan menggunakan relasi kuasa—sebagai polisi terhadap warga sipil—menyuruh pacarnya aborsi dan akhirnya sang wanita memilih jalan bunuh diri.
Belum genap satu tahun, ada lagi kasus yang melibatkan relasi kuasa antara pendoa gereja dengan umatnya.
Kasus yang terakhir ini pelakunya bernama Hendro Prasetyo Nugroho, seorang jurudoa di sebuah gereja di Kabupaten Jombang. Si jurudoa ini menyetubuhi jemaatnya yang masih berusia empat belas tahun hingga hamil.
Pelaku menggunakan otoritas keagamaannya dalam melakukan aksi yang tak bermoral ini. Korban merasa harus menurut karena pelakunya adalah pembawa firman Tuhan yang diyakini bisa menyembuhkan penyakitnya. Sekalipun demikian, penanganan kedua kasus ini relatif berjalan lancar sehingga para pelaku dengan cepat mendapatkan hukuman.
Mengapa kedua kasus ini bisa berjalan cepat? Jawabnya adalah karena para pelaku dalam kasus ini tidak berasal dari kalangan elite penguasa.
Lain halnya dengan kasus Subekhi. Menurut informasi yang beredar, dia juga melakukan aksinya dengan memanfaatkan relasi kuasa antara “kiai dan santri”. Jika kita menelusuri berbagai jejak digitalnya, terlihat jelas bahwa keluarga Subekhi memiliki relasi yang kuat dengan elite penguasa.
Beberapa kali politisi elite nasional berkunjung ke pesantren ayah Subekhi, di mana Subekhi adalah pewaris tunggalnya. Karena inilah banyak pihak yang menengarai mengapa kasus ini memerlukan waktu bertahun-tahun untuk sekedar bisa menangkapnya. Berita penangkapannya begitu dramatis karena sampai harus menurunkan aparat keamanan yang cukup banyak.
Kasus Subekhi menjadi sorotan publik karena yang bersangkutan selalu mengaitkan kasusnya dengan pesantren yang dimilikinya. Bahkan isu kriminalisasi pesanten pun dimainkan untuk menarik simpati publik.
Kasus terbaru yang mencengangkan publik adalah “Kasus Sambo”. Menurut informasi yang beredar luas, kasus pembunuhan berencana ini dilakukan dengan sadis dan bengis serta pelakunya adalah pimpinanan tertinggi dari “polisinya polisi”.
Sampai kini penulis masih penasaran, apa motivasi utama dari sang jenderal bintang dua ini hingga tega melakukan kekejaman ini. Apakah hanya faktor pelecehan seksual yang sudah dihentikan penyidikannya? Ataukah betul-betul ada affair di baliknya sebagaimana isu yang beredar di media sosial?
Jika ya, mengapa orang sekelas jenderal bintang dua mudah sekali tersulut emosi dan melakukan tindakan yang sangat gegabah? Sebegitu “bucin”-kah sang Jendral?
Publik berspekulasi secara liar. Muncullah isu perjudian dan narkoba. Kasus ini semakin liar dan dilahap siapa saja yang memang sejak lama sudah memandang negatif terhadap institusi Polri.
Tetapi, terlepas dari itu semua, kasus ini jelas melibatkan relasi kuasa antara atasan dan bawahan. Adanya “abuse of power” (penyalahgunaan kekuasaan) dalam kasus ini sangat terasa. Apalagi, ditambah dengan penerapan jiwa corsa yang salah kaprah. Ini adalah ujian berat bagi Kapolri yang dipaksa harus memilih menjaga jiwa corsa sesama anggota atau menjaga marwah institusi.
Mubahalah
Kata mubahalah berasal dari kata bahlah atau buhlah yang berarti kutukan atau laknat. Singkatnya, mubahalah adalah doa yang dilakukan dengan sungguh-sungguh untuk memohon jatuhnya laknat Allah SWT atas siapa yang berbohong.
Dalam praktiknya, sumpah mubahalah dilakukan oleh dua pihak yang berperkara sama. Mereka berdoa kepada Tuhan agar menjatuhkan laknat kepada pihak yang mengingkari kebenaran.
Jika dalam kasus Subekhi, pihak Subekhi yang meminta para pelapor untuk ber-mubahalah. Sedang dalam kasus Sambo, pihak-pihak tertentu meyakini bahwa Sambo sedang terkena laknat Tuhan terkait dengan peristiwa KM 50. “Gorengan” media, terutama media-media non-mainstream, bermunculan membuat isu menjadi semakin lebar dan liar.
Yang menjadi pertanyaan adalah mubahalah ini berlaku kepada perorangan ataukah institusi. Sambo tidak terlibat langsung dalam peristiwa KM 50. Permasalahan bisa menjadi semakin bias dan justru akan memperlambat tuntasnya pengungkapan kasus yang sesungguhnya.
Pihak-pihak yang meyakini kasus ini hasil dari mubahalah tidak akan peduli dengan motif utama dari kasus ini. Yang mereka pikirkan hanyalah sebatas “nyawa dibalas nyawa” dari pihak yang selama ini saling bertentangan. Jika kasus ini tak kunjung usai, maka dikhawatirkan persepsi masyarakat terhadap institusi polri semakin terjun bebas.
Survey LSI yang dilakukan sebelum terjadinya kasus Sambo Polri menempatkan institusi Polri di posisi tiga (72 %) di bawah TNI (89 %) dan presiden (77 %). Setelah kasus Sambo ini, sangat mungkin ada penurunan signifikan persepsi masyarakat terhadap institusi Polri. Apalagi jika kasus ini berlarut larut.
Sebaliknya, jika Kapolri bisa menyelesaikan kasus ini dengan cepat dan transparan, sangat mungkin persepsi baik masyarakat kepada institusi Polri akan naik.
Jika dilihat dari daya rusak yang akan ditimbulkan akibat kasus ini terhadap nama baik institusi Polri, saya rasa wajar jika pelaku utamanya harus dihukum maksimal. Tentu saja harus didahului dengan proses peradilan yang benar dan transparan. Perlu diingat bahwa pelakunya bukan sekedar polisi, tetapi juga perwira tinggi. Bahkan, dia adalah orang nomor satu dalam korps “polisinya polisi”.
Kasus ini dapat menjadi pelajaran bahwa praktik kejahatan yang disebabkan oleh relasi kuasa bisa terjadi di mana saja dan oleh siapa saja. Karena itu, perlu ada terobosan hukum dan kemauan politik untuk menuntaskannya.
Yang tidak kalah penting adalah jangan sampai kita mudah melakukan over-generalisasi, di mana tindakan negatif beberapa orang oknum membuat kita menilai semua orang dalam institusi.
Yang jelas, semakin lambat penyelesaian kasus ini, maka bola liar akan semakin menggelinding dan memantul kemana-mana. Jika ini yang terjadi, bukan hanya institusi kepolisian yang dirugikan, tapi kita semua sebagai bangsa.
HM Zahrul Azhar
Penulis merupakan Wakil Rektor Unipdu Jombang
© Copyright 2024, All Rights Reserved