SATU Juni menjadi momentum sejarah bangsa, lahirnya landasan negara yaitu Pancasila. Pada tanggal yang sama juga diperingati sebagai Hari Minum Susu.
Setiap kali kita memperingati lahirnya Pancasila, akan selalu muncul pertanyaan, apakah sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia sudah terwujud. Jangan hanya disuruh bersatu, sementara saat bagi bagi kekayaan alam, lupa dengan yang lemah, yang tak berdaya, dan yang miskin.
Salah satu fakta yang nyata adalah kesempatan anak-anak yang seharusnya mendapatkan makanan tambahan gizi, belum mendapatkan porsi yang memadai. Anggaran pendidikan yang sudah mencapai amanah undang undang dasar sebesar 20% dari APBN, tidak menyentuh terhadap gizi anak sekolah. Tahun 70-an anak sekolah masih dapat minum susu gratis, negara semakin maju, susu gratis anak sekolah semakin hilang.
Konsumsi susu masyarakat Indonesia masih terendah di Asia Tenggara. Indonesia baru mencapai 11,8 liter/kapita/tahun. Sementara negara tetangga sudah mencapai: Malasyia 28,2 liter/kapita/tahun, Myanmar 26,7 liter/kapita/tahun, Thailand 22,2 liter/kapita/tahun dan Filipina 17,8 liter/kapita/tahun.
Ironis pertama, produksi susu dalam 5 tahun terakhir mengalami penurunan. Tahun 2000 - 2016 rata rata 1,03% . Dampaknya tahun 2017 - 2020 akan mengalami defisit susu sebesar 71 - 103 ton. Ini salah satunya terjadi 2013 akhir, 2014 awal, susu peternak murah, banyak yang dikembalikan karena over produksi, akhirnya banyak sapi perah dipotong paksa.
Ironis kedua, kebutuhan susu dalam negeri sebanyak 79,93% dipasok dari susu skim impor. Sementara susu dalam negeri yang fresh dari produksi peternak nasional hanya sebesar 20,07%. Dalam hal ini tidak ada regulasi agar pelaku import skim didorong untuk ikut andil dalam menumbuhkembangkan persusuan nasional.
Ironis ketiga, kenaikan konsumsi akibat dari pertumbuhan populasi, pertumbuhan ekonomi, perbaikan tingkat pendidikan, dan kesadaran gizi serta gaya hidup, memicu kenaikan kebutuhan susu rata rata pertahun sebesar 0,93% untuk susu dalam negeri, dan 4,78% susu skim impor.
Ironis keempat, angka produksi dan ketersediaan susu dalam negeri tidak akan pernah naik 25% dari kebutuhan nasional. Angka 25% identik dengan proses pembuatan susu blending, yang hanya membutuhkan 25% susu segar sebagai emulsi karena susu skim membutuhkan fat dalam proses produksi. Sehingga bisa disimpulkan angka 25% akan terus dipertahankan oleh industri dan pengimport susu skim. Naik 5% dari angka tersebut, banyak susu peternak yang akan dikembalikan dengan berbagai alasan. Yang akhirnya mau tidak mau populasi harus dikurangi biar tidak over produksi. Ini namanya mengunci sistemik dan permanen atas peluang pasar susu yang kita miliki. Prilaku kartel dan monopoli harus serius diperhatikan oleh KPPU dan pemerintah.
Dari fenomena tersebut diatas akan memberikan dampak yang luar biasa, diantaranya;
1. Generasi biru dari bangsa yang besar,lambat laun akan mundur, karena kekurangan gizi permanen. Karena anggaran pendidikan tidak berpihak untuk perbaikan kualitas gizi anak sekolah. Semua berhambur untuk perbaikan infrastruktur dan kesejahteraan guru.
2. Tidak membiasakan sejak usia dini dikenalkan susu segar, menjadikan anak alergi terhadap makanan yang bernilai gizi tinggi. Mereka hanya terbiasa dengan kualitas makanan yang berkualitas rendah, dan bahayanya kalau akan menjadi ketergantungan.
3. Pasar yang sedemikian besar, dibiarkan negara begitu saja. Nampak tidak ada upaya signifikan mendesain baik untuk konsumen apalagi untuk peternak.
4. Dengan Permentan yang tidak berpihak terhadap peternak, menambah penderitaan ekonomi peternak sapi perah/susu.
5. Sudah semestinya pemerintah membuat regulasi yang mampu menumbuh kembangkan usaha peternak rakyat, sekaligus menyehatkan anak bangsa.
Disinilah terasa janggal keadilan sosial tersebut. Satu sisi peternak rakyat butuh pasar dan anak anak butuh gizi yang cukup, sementara pemangku kebijakan nampak abai terhadap nasib mereka.
Ahmad Baehaqi Al Abrori
Penulis adalah Ketua Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI) Pimda Jawa Barat
© Copyright 2024, All Rights Reserved