Dalam RUU Pemilu terdapat klausul mantan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) tidak diperbolehkan mengikuti kontestasi Pemilu Presiden, Legislatif, maupun Pilkada karena bertolak belakang dengan konsensus dasar berbangsa dan bernegara. Namun, Pemilu merupakan bagian dari kedaulatan rakyat dan bagian dari demokrasi.
- Kesal Miras Dilegalkan, Gde Siriana: Sekalian Saja DPR Legalkan Perjudian Dan Prostitusi
- Kiyai Kharismatis Cirebon Tentang Kebijakan Yang Mempermudah Investasi Bisnis Miras
- Muncul 24 Tokoh Harapan, PDIP Subang Optimis Tatap Masa Depan
Baca Juga
Pengamat Politik Universitas Parahyangan (Unpar), Asep Warlan Yusuf menilai pemenuhan hak sebagai warga negara tidak bisa dihiraukan. Ia mengatakan, Pemiliu merupakan bagian dari ekspresif perwujudan kedaulatan rakyat, maka tetapkan hak warga negara sebagai bentuk sebuah pengakuan negera.
"Seperti, memilih dan dipilih. Itu kan bagian dari tanggung jawab negara untuk menjamin haknya tetap tersalurkan serta dapat dijadikan sebagai nilai demokrasi," kata Asep, Rabu (27/1).
Menurutnya, HTI menjadi oraganisasi terlarang harus ditetapkan terlebih dahulu dan jangan tiba-tiba. Pasalnya, dulu Partai Komunis Indonesia (PKI), keluarganya bisa memiliki hak pilih karena Mahkamah Konstitusi (MK) mengatakan diskriminatif.
"Kalau dulu orang yang bebas dari surat G 30S PKI. Akhirnya dihapus surat keterangan surat G 30S PKI itu," tuturnya.
Asep menyebut yang dibubarkan hanya badan hukumnya bukan pemikiran HTI yang berbeda dengan pemerintah. Ia khawatir hal tersebut menjadi meluas dan menjadi negara otoriter dan tidak demokratris.
"Misalkan ke FPI ataupun oraganisasi terlarang lainnya. Berbeda dengan PKI, pemikiran, oraganisasi, penyebaran luasannya pun dilarang," tandasnya.
- Mirasantika, No Way!
- Nama Baik Bugis-Makassar Dicoreng Nurdin Abdullah
- Legislator Gerindra Upayakan Solusi Jangka Panjang Untuk Atasi Banjir Karawang