Aksesibilitas di kawasan pariwisata di Kabupaten Pangandaran tak hanya dikritisi calon anggota legislatif (caleg) disabilitas. Kritik juga dilontarkan tiga orang siswa Sekolah Luar Biasa (SLB) Bina Harapan Muhammadiyah Pangandaran yang juga merupakan disabilitas.
Ketiga orang siswa disabilitas yang baru saja menginjak usia 19 tahun tersebut bercerita cukup rinci soal kondisi sarana Pariwisata di Kabupaten Pangandaran. Bahkan mereka menyampaikan keluhannya saat melakukan aktivitas wisata dan juga memberikan saran bagi pemangku kebijakan agar turut memperhatikan kebutuhan disabilitas.
Jimmy, Tono dan Krisna, meskipun se usia, mereka berbeda kelas saat belajar dan latar belakang disabilitas yang tak sama. Ketiganya bersahabat cukup baik, bahkan saat dikunjungi Kantor Berita RMOL Jabar ke sekolahnya mereka saling becanda satu sama lain.
Dari ketiganya, Krisna yang paling aktif menjelaskan bagaimana seharusnya Pariwisata hadir bagi disabilitas. Dengan latarbelakang tuna netra, ia cukup merasakan betul bagaimana sulitnya mengakses beberapa objek wisata pantai tanpa bantuan pembimbing, dalam hal ini orangtuanya.
“Ya menurut aku sih udah bagus sih tempat-tempatnya di sini. Cuman itu tadi, harusnya banyak di sediain aksesibilitas gitu. Buat kursi roda, terus yang buat renang tunanetra dan sarana rambu jalan,” ungkap Krisna, Kantor Berita RMOL Jabar, Kamis (29/2)
Rambu jalan yang dimaksud, Krisna mencontohkan, adalah sarana di pinggir pantai seperti di Malioboro Yogyakarta dan di beberapa kawasan wisata lain di luar Pangandaran. Selain itu, pariwisata juga harus bisa mengedukasi agar dapat berwisata sambil belajar.
“Bisa buat Jalan tunanetra ya. Disamping bisa bersenang-senang, kan jadi kami juga bisa dapat pelajaran dari situ. Kayak misalkan ke tempat-tempat yang bersejarah gitu,” papar Krisna yang diamini temannya Tono dan Jimmy.
Beberapa tempat objek wisata di Pangandaran yang sering didatangi, kata Krisna di antaranya kafe-kafe di Kampung Turis serta beberapa pantai karena untuk wisata sungai, ia mengaku belum berani. Jika sudah ada sarana bagi disabilitas, tambahnya, ia menginginkan bermain sendiri tanpa didampingi siapapun serta jangkauannya akan sangat luas.
“Di sungai-sungai kaya Citumang begitu. Ngerasa tidak aman, ya karena tidak ada sarana buat disabilitas. disabilitas itu susah kalau buat kayak tunanetra atau tuna daksa gitu masih sulit gitu,” imbuhnya.
*Liputan ini Mendapatkan Dukungan Hibah dari Program Fellowship AJI Indonesia
© Copyright 2024, All Rights Reserved