Beberapa teman meminta kepada penulis untuk berbagi telaah perbandingan terkait pola sosialisasi para bakal calon bupati dan wakil bupati Purwakarta. Hal ini mungkin didasari oleh pandangan mereka tentang penulis sendiri. Penulis pernah turut serta secara teknis membantu sosialisasi calon bupati dan calon wakil bupati Purwakarta dalam dua kali gelaran kontestasi Pilkada.
Bahkan, dinamika sosialisasi pemenangan salah satu pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur Jawa Barat pernah penulis alami. Tentunya, melalui seabreg tetek-bengek hal yang menjemukan namun tetap menyegarkan pada sisi yang lain. Semua itu merupakan pembelajaran bagi akal penulis. Sehingga, tulisan ini semoga menjadi bagian dari buah pembelajaran tersebut.
Praktis, segenap aktivitas itu mulai berkurang bahkan nyaris terhenti sejak penulis melakukan kontemplasi aktif di Majelis Dzikir Cermin Hati, Cimaung, Purwakarta. Sebuah majelis dzikir yang memberikan pencerahan dalam segala aspek kehidupan penulis. Tulisan ini merupakan kolaborasi dari pengalaman eksternal interaksi sosial dan pengalaman kontemplatif yang jarang dilalui oleh manusia.
Analisis Kebutuhan Manusia
Ketika seorang manusia menawarkan barang kepada manusia lain. Salah satu syarat agar barang tersebut bisa diterima adalah sifat barang harus merupakan kebutuhan melekat pada manusia tersebut. Tawaran air hanya bisa diterima oleh orang haus. Tawaran makanan hanya bisa diterima oleh orang lapar. Tawaran uang hanya bisa diterima oleh orang yang akalnya kait mengait dengan uang.
Pun begitu, tawaran sembako akan diterima oleh mereka yang sangat membutuhkan sembako di rumahnya. Namun setelah mendapatkan itu semua, penerima tidaklah berada dalam keadaan tenang paripurna. Kekhawatiran pada habisnya air, makanan, uang dan sembako masih menyelimuti akal mereka masing-masing.
Sejauh ini, berdasarkan pengamatan subjektif penulis, para bakal calon bupati dan wakil bupati Purwakarta masih berkutat aktif pada aspek kebutuhan material tersebut. Secara idealisme religiusitas, cara ini merupakan bentuk ‘penghinaan’ pada hakikat kemanusiaan. Karena sebenarnya, hakikat manusia adalah ruhaninya, bukan jasadnya.
Sehingga kegandrungan mengumbar kebutuhan jasad seraya alpa pada kebutuhan ruhani semakin menjauhkan manusia, khususnya Manusia Purwakarta dari hakikat kemanusiaannya. Memang, terlihat oleh penulis, aksi religi yang dilakukan oleh salah satu bakal calon bupati Purwakarta. Namun konten yang ditebar dalam kegiatan shalat subuh berjamaah itu masih bersifat formal material simbolik, belum menyentuh esensi kemanusiaan.
Adapula tokoh religi yang seolah bertindak sebagai volunteer atau relawan bakal calon. Namun sekali lagi, berdasarkan pengamatan subjektif penulis, gerakannya masih minim esensi. Bangunan narasi yang ditawarkan berfokus pada kedekatan personal. Misalnya, “Insya Allah, dekat dengan Kang Haji, bapak dan ibu ini mah sholeh dan sholehah, taat agama dan bisa memimpin Purwakarta”.
Artinya, penulis sendiri tidak melihat titik temu gagasan antara pihak yang mendukung dan pihak yang didukung selain gagasan kedekatan pragmatisme. Kembali lagi, fenomena itu malah menegaskan ‘penghinaan’ dalam bentuk lain pada hakikat kemanusiaan. Karena seolah-olah, pihak lain tidak taat agama dan tidak memiliki potensi untuk memimpin Purwakarta.
Alih-alih kebutuhan manusia berupa ketenangan paripurna bisa terpenuhi, pola-pola tersebut malah memiliki potensi menimbulkan medan konflik baru. Pertama adalah kecemburuan sosial rakyat yang tidak kebagian air, makanan, uang dan sembako. Kemudian kedua adalah konflik tentang kriteria shaleh dan shalelah. Poin terakhir ini, membuka gerbang pertarungan narasi agama di kemudian hari. Penulis khawatir, sekat sosial antara masyarakat Purwakarta akan semakin melebar.
Miskin Epistemologi, Rapuh Aksiologi
Tidak ada manusia yang tidak digerakan oleh pengetahuan. Sehingga, perbuatan yang muncul sebagai interaksi dengan manusia lain merupakan efek dari pengetahuan yang dimiliki. Sementara, pengetahuan atau ilmu sangat memegang peran penting, jika tidak bisa dikatakan maha penting. Al-‘aliim merupakan sifat Allah.
Tesis ini menegaskan bahwa gerakan para bakal calon bupati dan wakil bupati Purwakarta menandakan tingkat pengetahuan yang mereka miliki. Singkat kata, cara sosialisasi yang mereka bangun itu melambangkan derajat tebal atau tipisnya unsur ilahiyah dalam ruhani mereka masing-masing. Sekental apapun tagline agama yang disodorkan, tidak otomatis menentukan derajat ilahiyah tersebut.
Akibat tingkat pengetahuan yang berbeda, cara sosialisasinya pun berbeda. Jika menggunakan bahasa yang agak kasar, akibat kebodohan pada kebutuhan rakyat, maka cara sosialisasinya pun serampangan. Tujuannya, asal persentase popularitas naik dan tingkat kesukaan naik. Lalu kemudian, persentase tingkat keterpilihan pun naik. Soal konsep kepemimpinan dan tawaran konsep untuk rakyat, nanti dibicarakan di kemudian hari yang entah kapan.
Cara ini akan menghancurkan kesinambungan pembangunan dalam jangka panjang. Purwakarta sebagai satu entitas di tengah bangsa diajarkan bersikap pragmatis bahkan oportunis yakni menyelesaikan persoalan secara kasuistik, tanpa mengolah unsur penggerak jasad manusia yaitu ruhani. Spirit saling menyalahkan kebijakan pun akan semakin terasa di masa depan.
Lagi-lagi rakyat dinina-bobokan melalui laku populis demi menutupi semua itu. Semoga Purwakarta semakin keren pada masa yang akan datang.
Aba Farhan
Penulis adalah Direktur Eksekutif Lembaga Pelatihan Kader Ilahiyah, Yayasan Cermin Hati, Cimaung, Purwakarta
© Copyright 2024, All Rights Reserved