DUA anak muda bangsa Indonesia yang kebetulan putra dari Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka dan Kaesang Pangarep menjadi salah satu berita paling terdepan dalam kancah perpolitikan negeri ini.
Dalam perjalanan politik kedua pemuda ini, sang kakak Gibran lebih dahulu berhasil secara gemilang meraih kemenangan sebagai Walikota Solo dan melejit menjadi Wapres terpilih.
Sementara Kaesang pasca mendapat privilege langsung diangkat menjadi Ketum Partai Solidaritas Indonesia atau PSI justru banyak nuansa bernada kritikan, bahkan sindiran hingga protes di ruang publik dan media social.
Terbaru publik menyoal liburannya bersama sang istri, Erina Gudono, yang menumpang pesawat jet pribadi ke Amerika Serikat dan belanjaanya. Sikap Bea Cukai pun ikut dipertanyakan.
Namun terpenting adalah ketika warna politik kontestasi Pilkada semakin meriah, hingga menghadirkan keputusan Mahkamah Konstitusi yang hampir saja bertabrakan dengan upaya Baleg DPR RI untuk membegalnya. Nama Kaesang ikut menjadi pembicaraan luas.
Sesungguhnya di luar segala pro kontra perhelatan politik nasional ini, kehadiran Gibran dan khususnya Kaesang yang mencoba menapak jalur politik kekuasaan semestinya dapat menjadi antitesis analisis sosial politik bahkan hukum.
Di mana meskipun jelas berasal dari keluarga seorang presiden tetapi ini adalah modul yang menarik bagi pola perpolitikan masa depan Indonesia.
Mengapa dan bagaimana elite politik Indonesia bisa sampai menempatkan seorang pemuda bernama Gibran Rakabuming masuk pada strata tertinggi kepemimpinan Indonesia, sementara generasi di atasnya yang cukup handal banyak tersedia adalah fenomena politik yang menarik.
Barangkali alasan kepentingan politik partai plus target kekuasaan selalu menjadi alasan terdepan.
Tetapi sejatinya dalam proses pendewasaan anak bangsa pada kehidupan politik nasional, hal ini adalah barometer penting, bahwa sumber daya kehidupan elite politik Indonesia berbasis mata rantai estafet secara variabel hubungan darimana kekuasaan muncul dan berasal. Dari keluarga keluar sebagai bagian penjaga negeri selanjutnya.
Tentu saja sepanjang semua penempatan pola demikian demi menjaga kesinambungan perikehidupan berbangsa dan bernegara sangatlah wajar dan bahkan menunjukan suatu kekuatan solidaritas anak bangsa dalam artian positif.
Tentu saja terlepas dari tujuan semacam ini, maka komitmen penegakan Hukum secara berkeadilan rasa dan karsa bagi rakyat mutlak dikedepankan secara jujur oleh semua lembaga negara tanpa keraguan lagi.
Itulah impian rakyat yang saat ini semakin jauh dan menjauh sehingga pertanyaannya adalah apakah Gibran mampu menunjukan mentalitas kepemudaannya sebagai sosok pembela rakyat sepenuh jiwa dengan sejalan bersama presiden Prabowo Subianto yang telah teruji integritasnya selama ini.
Alhasil pemuda Indonesia yang terlibat elite politik nasional tentu tak hanya Gibran dan Kaesang yang masih mencari warna jati politiknya sebagai Ketum parpol, ada Agus Harimurti Yudhoyono, Sandiaga Uno, Maruarar Sirait dan lainnya yang telah lebih dahulu terlibat dan berkontribusi pada perjalanan bangsa ini.
Mereka tak boleh dibiarkan hanya menjadi alat "konspirasi" kekuasaan belaka, maka apa yang terjadi pada Gibran dan Kaesang sesungguhnya tak terlepas dari tanggung jawab bersama para elite politik itu sendiri dalam upaya pematangan politik di republik ini.
*Penulis adalah pemerhati sosial politik
© Copyright 2024, All Rights Reserved