Perilaku intoleran dimiliki setiap masyarakat diberbagai belahan wilayah manapun. Sebagai contoh, ketika berada di wilayah A yang mayoritas muslim, maka non muslim akan menjadi korban, pun sebaliknya.
Demikian diungkapkan Ketua Perkumpulan Arus Publik Indonesia, Yhodisman Soratha dalam diskusi bertajuk "Bandung Dalam Bingkai Toleransi Warga" di Sekretariat Second House, Jalan Tubagus Ismail, Kota Bandung, Selasa (24/12).
Maka dari itu, Oris sapaan Yhodisman menyatakan, negara harus mampu melindungi setiap agama yang berada di wilayahnya. Selain itu, negara juga harus memenuhi semua unsur yang berkaitan dengan kebijakan.
"Negara tidak boleh memfavoritkan satu agama tertentu. Misalnya dalam Perwal mewajibkan anak-anak sekolah memakai seragam muslim di hari Jumat. Tapi kalau dilanjutkan bagi non muslim menggunakan pakaian apa, nah itu boleh," ujar Oris.
Berbicara tentang politik identitas, Oris menilai setiap pemimpin publik di manapun harus memiliki kaki yang berdiri bagi semua golongan. Artinya, seorang pemimpin tidak boleh berpihak kepada golongan maupun agama tertentu.
"Kalau tidak dalam bentuk kebijakan, dia harus bisa menjaga dalam bersikap. Sikap tegas dan konstruktif terutama ketika ada problem. Aturan dan regulasi harus sesuai aturan hukum. Jangan membuat aturan untuk kaum mayoritas,"jelasnya.
Menurutnya, ada tiga kewajiban yang sebaiknya dimiliki pemangku kebijakan dalam menyikapi prilaku toleran dan intoleran, yakni menghormati, melindungi, dan memenuhi. Dalam unsur menghormati, pejabat publik tidak boleh membawa agamanya ketika menjabat pimpinan daerah.
"Contohnya Wali Kota Bandung (Oded M Danial) agamanya Islam. Dia boleh melakukan aktivitas agamanya tapi dia tidak boleh mencampurkan agamanya ketika dia menjadi pejabat publik karena agama di Kota Bandung berbeda-beda. Ini cara menghormati," tandasnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved