Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Barat (Jabar) menyoroti ketidakbecusan pemerintah dalam mengelola sampah di wilayahnya masing-masing.
Hal itu disampaikan Manager Advokasi dan Kampanye Walhi Jabar, Haerudin Inas dalam peringatan Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN) 2024, Rabu (21/2).
Disampaikan Inas, mengacu pada data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Tahun 2023, dari 17,4 juta ton sampah yang dihasilkan, 44,7% merupakan sampah organik. Di mana seharusnya ini menjadi perhatian khusus bagi pemerintah dalam mengatasi permasalahan sampah organik di Indonesia, terkhusus pada momen penting seperti peringatan HPSN 2024.
"Masalah lainnya juga timbul dari keleluasaan produsen dalam memproduksi kemasan-kemasan sekali pakai yang menjadi penyebab utama problem permasalahan timbulan sampah plastik dan berakhir menjadi polusi plastik," ucap Inas melalui keterangan tertulis, Rabu (21/2).
Tata kelola persampahan saat ini, dia menuturkan, mayoritas masih menggunakan pola pengelolaan kumpul-angkut-buang dan berakhir menumpuk banyak permasalahan di Tempat Pengelolaan Akhir (TPA).
"Ini menjadi fakta yang harus diakui oleh pemerintah sebagai ketidakmampuan dan ketidakseriusan pemerintah dalam mengatasi permasalahan sampah yang saat ini terjadi," ungkapnya.
Ditegaskan Inas, seharusnya peringatan HPSN menjadi refleksi bagi pemerintah untuk menjadikan isu pengelolaan sampah organik sebagai isu penting yang harus segera ditindaklanjuti.
Timbulan sampah organik yang berakhir di TPA menjadi penyebab utama ledakan TPA Leuwigajah pada 2005 lalu. Ledakan dan longsor di TPA Leuwigajah menewaskan lebih dari 150 orang dan menghapus dua desa dari peta.
"Ini merupakan insiden terparah kedua di dunia setelah sebelumnya terjadi di TPA Payatas, Quezon City, Filipina pada tahun 2000 yang menewaskan lebih dari 200 orang," terangnya.
Gas Metana yang dihasilkan dari proses pembusukan sampah organik, dia menjelaskan, menjadi pemicu utama ledakan yang menyebabkan longsor di TPA
Leuwigajah. Di pertengahan tahun sampai akhir 2023, kebakaran TPA terjadi di banyak lokasi di Indonesia.
"Gas metana yang dihasilkan dari TPA juga berkontribusi besar terhadap gas rumah kaca yang memperarah kondisi perubahan iklim saat ini," ujarnya.
Manajer Pendidikan dan Kaderisasi Walhi Jabar, Klistjart Tharissa menambahkan, seharusnya pemerintah berkonsentrasi penuh dalam menanggapi permasalahan sampah, terutama bagaimana cara mengatasi permasalahan sampah organik.
Edukasi di level masyarakat, lanjut Klistjart, dalam mengelola sampah organik masih belum serius dilakukan, terkhusus di wilayah Jabar sendiri.
"Lanjutannya, masyarakat yang tinggal dikawasan Urban (perkotaan) masih memiliki banyak tantangan dalam upaya melakukan pengelolaan sampah organik
seperti terbatasnya lahan dan ruang mengelola sampah organik tersebut," katanya.
Dalam mengatasi permasalahan sampah organik, dia menjelaskan, tidak bisa di sepelekan atau dianggap mudah. Apalagi berpikir bahwa permasalahan pengeloaan sampah organik dapat selesai dengan program yang disusun dan hanya bersifat pragmatis.
Dari hasil studi kasus Walhi Jabar, Pemkot Bandung menjalankan program bagi wadah untuk mengkompos skala rumah tangga dan menggunakan magot untuk mengatasi kondisi darurat sampah yang sedang dihadapi Kota Bandung saat ini.
"Dari hasil pemantauan kami, capaian dari program ini juga masih belum terlihat signifkan, karena dianggap tidak tepat dengan kondisi wilayah urban Kota
Bandung, dan tanpa adanya edukasi serta asistensi yang cukup kepada masyarakat," bebernya.
Merujuk pada dokumen Surat Edaran yang dikeluarkan oleh Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada HPSN 2024, dia mengatakan, lebih berkonsentrasi pada penyelesaian polusi plastik, menjadi ironis ketika dihadapkan dengan kenyataan pemerintah masih belum mampu mengatasi permasalahan sampah organik, sehingga tidak banyak menyinggung isu sampah organik dalam edaran tersebut.
Ketidakseriusan dalam mengurangi jumlah timbulan sampah plastik juga terlihat dengan banyaknya fokus penyelesaian ditahap akhir pengolahan sampah plastik.
"Ini masih sangat jauh jika berbicara soal upaya konkrit yang dapat ditegaskan dan ditekankan kepada produsen yang menghasilkan sampah plastik," tuturnya.
"Hal tersebut dibuktikan dengan tawaran solusi yang akan didorong, sesua dengan SE HPSN 2024 yang mengedepankan bahwa sampah plastik ini dapat
dijadikan sebagai sumber bahan bakar atau sumber energi melalui teknologi termal (termasuk PLTSA yang dianggap sebagai Waste To Energy), Plastic Waste to fuel, yang tentunya ini juga menjadi kontradiktif," paparnya.
Sebelumnya, dia mengungkapkan, Indonesia dalam keterlibatannya menyusun draft International Legally Binding Instrument (ILBI) for Plastic yang disampaikan pada Intergovermental Negotiated Committee (INC) untuk mendorong Full LifeCycle ofPlastic atau Siklus Hidup Plastik secara penuh.
Dalam peringatan penting HPSN ini pemerintah malah mendorong solusi penanganan sampah plastik dengan cara membakar sampahnya.
"Padahal hal ini akan menimbulkan permasalahan baru yang akan dampak buruk baik bagi masyarakat ataupun lingkungan hidup," imbuhnya.
Disebutkan Klistjart, pemerintah selalu berorientasi dalam mengatasi permasalahan plastik ini dapat dilakukan dengan skema-skema bisnis. Pemerintah melihat permasalahan sampah ini selalu dipaksakan menjadi sebuah isu yang menguntungkan, tanpa banyak pertimbangan dan pelibatan masyarakat.
"Artinya pemerintah selalu mengesampingkan prinsip-prinsip keberlanjutan dan berkeadilan bagi masyarakat dan lingkungan hidup. Ide sampah sebagai sumber energi adalah bagian dari Solusi Palsu dalam mengatasi timbulan sampah plastik. Komitmen pemerintah untuk melaksanakan pengurangan sampah dan melakukan pengelolaan sampah masih jauh dari kata serius," tandasnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved